Thursday, January 14, 2016

TENTANG KAU DAN JATUH CINTAMU



Segelas air putih di hadapanmu tak kunjung kausentuh. Perutmu masih menolak diisi, katamu. Tapi kekuatanmu untuk bercerita panjang, berulang-ulang, tentang konsep jatuh cinta dan bunga-bunga dalam dirimu yang kaubilang tak akan layu, benar-benar membuat siapa pun kagum. Katamu, kau rutin menyiraminya, memberinya pupuk, lalu memastikannya tetap dan selamanya bisa hidup. Kau enggan bicara perkara gugur—atau kau memang tak menginginkan hal itu?
Kau, dengan bintang yang tak lepas pijarannya dari matamu, berkata bahwa jatuh cinta adalah perkara dirimu semakin bisa merasakan hidup dari waktu ke waktu. Sesuatu yang tak terlihat selalu memeluk dan memberi kehangatan untukmu. Mengukuhkan fisikmu, melebarkan senyummu. Melupakanmu dari perkara bisa atau akan terjatuh, dan kau masa bodoh akan hal itu. Kau mulai berpikir bahwa waktu yang semakin laju itu bisa membeku. Lalu kau hanya ingat bahwa mimpi-mimpi semakin bisa dilangitkan, rasa takut yang semakin berani kaulawan, dan keinginan yang tak tebersit sebelumnya tumbuh bermekaran. Kau, dengan naifnya, bisa mempercayai bahwa jatuh cinta menguatkanmu sejauh itu.
Jatuh cinta adalah soal keyakinan, katamu. Kau yang pantang mempercayai jatuh cinta bisa dibangun tanpa alasan, berseru lantang; bahwa alasan itu serupa dengan pupuk yang akan menghidupi bunga. Semakin kau menemukan alasannya, semakin tumbuhlah bungamu, dan begitulah caranya agar kau semakin hidup. Kau mengatakan ini berulang-ulang, maka siapa pun bisa menyimpulkan bahwa kau bersungguh-sungguh atas apa yang kau katakan.
Kau hanya berbicara tentang bunga namun tidak menyebutkan jenisnya, sementara orang-orang di sekitarmu bisa merasakan siratnya duri yang sebisa mungkin kau sembunyikan. Kau yang selalu egois hanya ingin bungamu hidup, membuat pijar matamu bergerak memangkas durinya agar sang bunga berdamai untuk bersatu dalam dirimu. Kau hanya tidak tahu, bahwa keegoisanmu tidak sejalan dengan waktu. Duri-duri itu semakin tumbuh sebanyak bungamu. Keduanya berebut memelukmu. Menantang egomu, melemahkan kekuatanmu, mempertanyakan di mana letak pupuk-pupukmu yang kauyakini dulu. Hingga pada akhirnya kau bertekuk lutut dan berbicara tentang ketakutanmu; secermat apa pun kau merawat bungamu, pada akhirnya kau harus melepaskannya bersama waktu. Kau harus lebih mengerti tentang definisi ingin dan butuh. Kau, dan jatuh cintamu, tak lagi setara dengan rindu dan mimpi-mimpimu.
  Segelas air putih tadi akhirnya kauseruput. Tak ada bedanya; penolakan terjadi lagi pada pencernaanmu. Tapi hanya itu yang bisa kaulakukan untuk dirimu. Kau…, hanya ingin sisa-sisa bunga dalam jiwamu tak redup. 

 *tulisan ini disertakan dalam tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Perdamaian*

1 comment:

Eva Sri Rahayu said...

Biarkanlah dia selalu percaya--meskipun dengan naifnya--bahwa cinta benar-benar tak mengenal kata gugur