Sunday, January 15, 2017

DAY 10: ABOUT SOMETHING FOR WHICH I FEEL STRONGLY



Sorry for absent!
Baru saja melewati masa-masa di mana aku mengejar dosenku, dan dosenku mengejar dosennya. Kami layaknya lagi lomba estafet di acara Benteng Takeshi. Dari kampus satu ke yang lainnya, dari tugas akhir satu ke yang lainnya. Zzz.
Kalau kata seorang teman yang udah lulus, “Dinikmatin aja masa-masa kayak gitu, Al. Nanti kalau udah lewat, bakalan kangen.” O jelaaas, selama urusannya nggak sama Pak Wadek dan orang TU insya Allah masih bisa menikmati. Insya Allah energi dan emosi masih masuk garis aman. A-ku-seh-throoonghhhh…
 Dan… ngomong-ngomong soal what I feel strongly, sebenarnya… aku nggak begitu punya fokus bakalan ceritain ini ke arah mana. Aku concern ke banyak hal, dan saking banyaknya, jumlahnya masih setengah-setengah. Aku suka dunia bahasa, kadang cenderung lebih suka dunia sastranya, suka care sama dunia fashion dan make up, fotografi, lifestyle para public figure, perfilman…. Eh, ini nyambung sama tema nggak, sih? :’)
Nah, karena abis baca blognya Heru yang sedikit-banyak ngomongin soal volunteer, kayaknya, bakalan asik ngebahas itu aja, ya?
Jadi, di tengah-tengah waktu menyusun skripsi kemarin, aku sempat curi waktu untuk mengikuti kegiatan volunteer. Pilihanku jatuh pada Kelas Inspirasi, salah satu konsep yang ada di bawah gerakan Indonesia Mengajar. Kegiatan itu merekrut orang-orang profesional, minimal dua tahun yang bekerja menggeluti bidangnya dan menjadi tiga bagian relawan; fasilitator, inspirator, dan dokumentator. Dokumentatornya itu sendiri terbagi menjadi fotografer dan videographer. Dan semua yang terekrut ini akan dipecah menjadi beberapa bagian kelompok yang nantinya akan tersebar di beberapa wilayah dalam satu cabang KI. Misalkan kemarin aku di KI Jakarta, di KI Jakarta misalnya bekerja sama dengan 20 SD (menengah ke bawah), dan di masing-masing SD terdapat satu kelompok KI yang lengkap terdiri dari fasilitator, inspirator, dan dokumentator.
Awalnya cuma iseng daftar karena dapat flyer KI dari seorang teman, lalu sempat pesimis buat ikut mengingat persyaratannya harus profesional yang sudah bekerja, tapi karena penasaran, maka aku mendaftar jadi dokumentator bidang fotografer. Tadinya berpikir bakalan nggak diterima, tapi ternyata aku dapat email pengumuman dan silabus KI. Itu rasanya… bingung. Antara deg-degan, tapi senang, lalu panik karena takut beradaptasi sama tempat baru, terus sempat berpikiran mau gugur aja…
Kenapa fotografer? Pertama, karena ini pertama kalinya jadi relawan, jadi pengennya membidik dulu. Baik lewat kamera, ataupun mata sendiri, tentang bagaimana proses jalan kreatifnya Hari Inspirasi yang dilalui oleh fasilitator dan inspirator. Kedua, aku belum punya profesi apa-apa yang bisa dikenalkan anak-anak, apalagi saat itu aku masih menjadi mahasiswi tingkat akhir yang nggak tahu kapan sarjana menjemput. :’) Jadilah aku merasa nggak begitu mumpuni untuk jadi inspirator.
Mulanya sempat rada minder, takut, grogi didukung perasaan-perasaan sejenisnya begitu beneran memutuskan untuk join. Minder karena setiap kali ditanya, “kamu kerja apa?” atau, “kerja di mana?” dan aku menjawab, “aku masih kuliah, nyusun skripsi,” sambil menyeringai, sementara lawan bicaraku adalah orang-orang yang udah ‘jadi’. Sesekali aku mengaku sebagai penulis sebagai informasi tambahan, meski dalam hati menambahkan; penulis-yang-bukunya-saat-itu-masih-digodok-editor-dan-nggak-tau-kapan-terbit. Ini jelas banget timpang sama anggota kelompokku (kami sudah dipecah berkelompok sebelum simulasi awal, btw) yang bekerja di tempat kece dan berprofesi kece juga. Fasilitatorku sendiri adalah seorang psikolog yang tengah menjalani pendidikan S2 di UI sambil bekerja, lalu videographer kelompokku sendiri adalah seorang videographer di M*tro TV, belum lagi inspirator-inspiratornya; ada yang sebagai apoteker di Kimia F*rma, jurnalis di N*t TV, humas di berbagai showroom, peneliti. Ditambah lagi saat hari H kami dapat bantuan drone yang dikendalikan oleh salah satu videographer pribadi presiden.
Jadi, kebayang kan siapa yang paling bungsu di kelompok ini? =))
Beruntungnya, selain jabatan mereka kece, mereka juga low profile bangeeeet. Mau terjun di dunia relawan, which is tempatnya nggak sekeren kantor mereka, rela ambil cuti atau izin buat survey, kalau lagi meeting nggak hanya bahas progress tapi juga hal-hal pribadi yang bikin sekelompok jadi blending. Pokoknya ada beberapa hal yang bikin aku kagum sama pribadinya kakak-kakak sekelompok (ehm), dengan pekerjaan yang mereka punya dan cara bekerja mereka dalam hal teamworking ini.
Itu baru tentang kelompok, kali ini aku mau cerita tentang sekolahnya.
Kami ditempatkan di SDN Manggarai 9 (eh, 9 apa 11 apa 13, ya? Begitulah=))) yang letaknya bersisian dengan stasiun Manggarainya sendiri (jadi kalau naik kereta arah Manggarai, suka lewatin sekolah ini). Berbangunan besar dan berlapangan luas, tapi itu juga dibagi jadi beberapa sekolah. Ada SDN Manggarai 9, 11, 13, 15, 17, 19—jadi… anggap aja wajar ya kalo aku lupa ditempatin di SDN berapa. =)) SD yang kutempati sendiri ada di sebagian lantai 2 dan satu kelas berisi sekitar empat puluhan anak. Dalam hal ini, aku salut sama kakak inspirator untuk nge-handle anak-anak yang (mungkin) harus menguras energi sedemikian banyaknya.
Kenapa begitu?
Pertama, layaknya anak SD pada umumnya yang ada di masa aktif-aktifnya, mereka sama seperti yang lain; lari-larian, saling mengejar, bersimbah keringat, beraroma matahari. Saat pertama kali simulasi dengan Ibu Kepala Sekolah, beliau bilang, “Anak-anak di sini senang sekali dengan kehadiran kakak-kakak relawan. Mungkin karena bosan dengan gurunya, jadi setiap kali mereka diajar oleh wajah baru, mereka riang.” Dan itu memang benar adanya, mereka excited saat hari inspirasi tiba, saat kelas mereka kedatangan inspirator yang mengenalkan profesi-profesi pada mereka, saat kamera membidik proses belajar-mengajar pada mereka.
Kedua, saking excited-nya, nggak hanya satu kelas terjadi ‘drama’. Dari mulai desak-desakan, tubruk-tubrukan, bersumpah-serapah, terus nangis. Oh ya, satu notes lagi yang waktu itu kuperhatikan, yang namanya sumpah-serapah, atau kata-kata kasar itu literally keluar dari bibir si anak—bahkan itu bisa terjadi di percakapan sederhana yang ringan. Ibu KepSeknya sendiri sudah bilang pada kami di awal, “Anak-anak itu, karena latar belakang keluarganya serba kurang, jadi ngaruh ke psikologis dan sosiologisnya. Jadi, secara background-pun para orang tua mereka terbiasa berucap kata-kata kasar, yang kemudian diikuti si anak dalam pergaulannya. Kami sebagai guru hanya bisa pelan-pelan mengingatkan, menghaluskan mereka.”
Jadi, buang jauh-jauh deh bayangan orang tua murid mereka yang datang ke sekolah itu bawa mobil yang terparkir berjejer di lapangan luas, membawa iPad di tangan kiri dan tas bermerek di tangan kanan… karena pada dasarnya, mereka yang tinggal di samping rel kereta itu, berprofesi sebagai pemulung, kuli, pengamen dan kawan-kawannya—yang mengandalkan Kartu Jakarta Pintar untuk sekolah anak mereka, dan yang kalau ada pertemuan orang tua dan guru mereka jarang hadir, kecuali ada embel-embel ‘materi’.
Sampai titik ini, aku pikir sudah cukup nyess buat self reminder. Sampai ada cerita lanjutan dari Ibu KepSek.
“Di sini ada satu anak yang berhari-hari nggak masuk sekolah. Kalau ini terjadi pada sekolah lain, mungkin anak ini di-skors atau drop out. Guru di sini pun nyaris nggak peduli sama kasus ini. Tapi saya minta untuk diselidiki anak ini kenapa nggak masuk. Lalu saya tahu sebabnya. Anak ini nggak masuk sekolah karena nggak punya uang sepeser pun untuk ongkos ke sekolah—barang seribu-dua ribu. Orang tuanya tidak memberi uang, yang akhirnya ia bolos sekolah. Jarak dari rumah ke sekolahnya jauh. Sampai akhirnya saya turun tangan,” kurang lebih begitu kata Ibu KepSek.
Lalu ada cerita-cerita mengenai anak yang lain; anak yang sepulang sekolah harus ikut memungut dan mencari uang—yang kalau nggak menutupi kebutuhan, orang tuanya berlaku kasar; anak dari single parents yang ayahnya kabur dan dia berjuang bersama ibunya, anak disabilitas, anak yang mudah tantrum—yang semuanya cukup membuat aku diam selama di kereta perjalanan pulang, sambil dikit-dikit berdiskusi dengan Kak Nona (salah satu inspirator kelompokku yang kebetulan satu arah pulang) tentang hal-hal yang kami dengar di ruang kepala sekolah tadi.
Jadi relawan itu memang capek—asli ini nggak pake bohong—tapi ada hal-hal sentimentil lainnya yang konon menggerakkanku pribadi untuk melakukan ini (lagi) begitu usai. Aku sendiri mungkin nggak ada passion mengajar sama sekali—meski pernah dibekali saat sekolah dulu dan KKN kampus, dan nggak sesabar inspirator atau guru-guru lain dalam menghadapi anak kecil. Kalau dilihat dari ukuran ‘nyata’ juga, jadi relawan justru rugi. Kami berkorban energi, waktu, materi, pikiran, demi hal-hal yang nggak membalas kami nantinya. Kami nggak dapat gaji, hadiah, kenaikan pangkat, atau yang lainnya. Sampai akhirnya, ada pengalaman-pengalaman berharga yang tak bisa dinilai dari angka dan bentuk nyata; belajar membuka mata dan hati lewat kehidupan orang lain, senantiasa bersyukur dari hal yang besar sampai kecil—yang semuanya tidak didapat dengan kita hanya duduk di bangku pendidikan.
Yang kalau kata Pak Anies, “Relawan tidak dibayar bukan karena tidak bernilai. Tapi karena tak ternilai.”
Oleh-oleh pas KI! Mau difoto aja rusuuuh =))
Piagam cita-cita yang ditulis sama anaknya sendiri.

Foto satu kelompok sama Ibu Kepala Sekolahnya. Tebak yang mana? :p




-AF
   

5 comments:

Herukasious said...

Dulu sempet pengen ikut ini pas masih di cirebon, pengen ikut kelas berbagi, peace corps, tapi hanya wacana. pengen ijut SM3T, tp ga dibolehin sama emak karna di daerah trpencil, wkss.. sekarang lg pengen ikut kopaja sih. Atau ntar ikut ini lagi yuk pee...

FHEA said...

gue dalam waktu dekat ikut agendanya Serambi Inspirasi, eksekusinya di Bantar Gebang. Mau ngajak lo, tapi kasian kejauhan... nanti pas KI lagi aja yuksss =))

yenita anggraini said...

Aaah...kereeen. Seneng baca ceritanya, Piah. Semangat jadi relawan!

Anonymous said...

Salut sama ibu kepseknya :') dan penulis blognya juga #tsah

FHEA said...

Semangat, TanGi!!

Asik-asik... apakah ini pertanda akan ada kue cokelat di rumah? :p