Monday, January 23, 2017

DAY 16: SOMETHING THAT I MISS




Beberapa hari lalu, di dalam kolom komentar salah sebuah post, TanGi aka Tante Anggi aka Tante Yenita request buat nulis kehidupan pesantren gitu. Karena tema hari ini kayaknya pas buat ceritain masa lalu *uhuk*, maka akan kukerucutkan ke dalam sepertiga pengalamanku di masa-masa sekolah dulu ya; waktu jadi anak Pramuka!
Sebenarnya, aku nggak konsisten sedari awal masuk asrama lalu jadi anak Pramuka. Awalnya malah ikut Tapak Suci, salah satu cabang olahraga bela diri. Sekitar beberapa bulan di masa-masa kelas 1 SMP dan baru beberapa kali latihan, goyah ikut Pramuka karena rata-rata teman sekamar menggeluti ekskul tersebut. Lalu pindah. Satu tahun ikut Pasukan Inti di Pramuka sampai kenaikan kelas dari kelas 2 SMP ke kelas 3, pindah lagi karena ikut atraksi Tapak Suci buat salah satu acara besar, lalu mulai menggeluti lagi bidang Tapak Suci sampai ikut Ujian Kenaikan Tingkat dan dapat sabuk melati satu. Begitu rasa penasaran kelar dan struktur kepengurusan berubah (yang mau nggak mau adaptasi sama pengurus baru), mulai curi-curi pandang sama info seleksi masuk Pasukan Koordinasi di ekskul Pramuka. Fyi, Pasukan Koordinasi ini adalah pasukan yang lebih kece dan bergengsi daripada Pasukan Inti; yang dikirim ke mana-mana kalau ikut lomba, yang paling dilirik buat Jamboree dari tingkat nasional sampai internasional, yang jadi ketua regu kalau ada kegiatan berkemah, yang secara pribadi (kalau nggak lagi Pramuka-pun) paling iconic karena karakter-karakternya menonjol… pokoknya kece deh.
Jadi, bisa ketebak lanjutannya. Aku—yang penasaran ini—langsung daftar buat ikut seleksi Pasukan Koordinasi.
Seleksi dimulai dari hal-hal yang sederhana—dan banyak tesnya. Mulai dari harus menghafal sejarah Boden Powell, menghafal Tri Satya dan Dasa Darma di luar kepala, tangkas menangkap kode Semaphore dan Morse—beserta kode sandi-sandi lainnya, tes kepekaan; melihat, menghidu, mendengar, lalu aku lupa apa lagi… sampai yang kuingat ditutup dengan Jerit Malam.
Iya, Jerit Malam. Para peserta diberi rute dari sini-ke sini (which is melewati 2 lorong kamar mandi asrama yang konon paling nyeremin), tanpa membawa alat penerang dan cuma bawa sabun batang—plz, aku juga nggak ngerti, apa hantu yang akan ditemui itu bakalan sebau apa sampai harus bawa sabun, dan untungnya aku nggak nemuin hantu benerannya!
Hantu bohongannya? Banyak! Si kakak pengurus yang muncul di balik tembok, pakai mukena, beraroma bedak tabur—efek kebanyakan dandan di muka, rambut diurai ke mana-mana, gincu yang melewati batas garis bibir—yang kalau ditanya pun, paling dia juga nggak tau lagi impersonate hantu apa.
Hasil tes PasKor itu aku ternyata gagal… dan terlempar ke pasukan Perkhutsy, yang akan atraksi di acara perkemahan yang namanya Khutbatul Arsy. Dari situ aku melewati proses banyak; mulai dari dipanggil kakak panitia perkemahan dan dikerjain abis-abisan sebelum diumumkan terpilih jadi pasukan yang akan atraksi, lalu mengorbankan waktu liburan untuk latihan di sekolah, latihan; berderap, teriak-teriak, loncat besi api, undak-undakan, tiarap melewati lorong berkawat yang di bawahnya lumpur basah—yang diakhiri dari beberapa hari sebelum masuk bumi perkemahan sampai hari atraksinya aku kena gejala thypus. Jadi, aku tetap atraksi tapi nggak bisa senyum sama sekali lantaran lidah udah pahit banget, terus khawatir undak-undakan jadi roboh karena badanku nggak fit, khawatir tampil nggak maksimal (karena kakak panitianya mengancam; kalau atraksinya jelek akan ada hukuman fisik seperti sit up, push up, yang jumlahnya berlipat) dan aku udah nggak sanggup, jadi aku tetap tampil yang malamnya kemudian aku dilarikan dari bumi perkemahan ke sekolah, lalu sekalian telepon orang tua untuk pulang ke rumah.
Itu pas masih SMP. Jadi dari situ yang namanya outbound, wide game, camping, jalan jauh, udah kayak makanan sehari-hari. Pas masuk SMA, kegiatannya lebih besar lagi.
Kelas satu SMA, kami menghadapi dua acara besar dan nggak tahu berapa acara kecil—aku nggak ingat. Acara besarnya, ada yang namanya tes Bantara—kayak tes Ramu, Rakit, Terap, menuju Penegak ada yang namanya tes Bantara. Tesnya kayak sebelumnya, memenuhi buku SKU pakai tanda tangan pengurus Pramuka, lalu tes lapangannya jerit malam (lagi) dengan rute yang tiga kali lipat lebih jauh. Kali ini nggak hanya melewati asrama doang, tapi juga melewati kelas dan sekolah! Kalau waktu SMP peserta jerit malamnya yang mau ikut aja, pas SMA harus seangkatan.
Dengan rute yang lebih jauh itu, kebayang dong, hantu bohongannya makin berkembang. Hantu lokal ada, hantu interlokal macam vampire, ratu Belanda, dan teman-temannya juga ada. Bahkan dapat guest star, temanku ada yang dikerjain sama kakak hantu bohongan, disuruh masuk ke lemari sebuah kelas kosong, yang kemudian dia ketemu genderuwo beneran di sana. *matik, gue nulis ini malem-malem* -_-
  Event kedua, kami ikut Cadika, yang dimulai ke Bu-Per dengan berjalan kaki entah berapa kilometer. Kali ini cuma kemah doang, juga harus diikuti seangkatan, tapi se-pu-luh hari. Berkaca dari pengalaman Perkhutsy yang waktu aku sakit, kali ini nggak boleh telat makan meski waktu yang dikasih buat istirahat ngajak ribut juga. Masalah kedua, kami masak sendiri perkelompok (yang juga pertenda) dengan peralatan masak seadanya banget, dengan makanan seotodidak banget. Jadi yang masak itu sesuai dengan jadwal piketnya buat jaga tenda, juga sekalian membuat makanan. Di saat capek-capeknya latihan dan maunya balik ke tenda buat makanan yang jadi, syukur-syukur kalau ketemu nasi yang nggak malpractice dimasaknya.
Lalu, semakin jadi kakak kelas, kami dipercaya buat jadi panitia acara besar tentang kepramukaan di sekolah. Semacam tradisi turun temurun gitu, kalau udah kelas segini, maka nanti satu angkatan tanpa terkecuali megang acara ini. Lalu kalau udah jadi panitia, siap-siap pulang sekolah ribet sendiri. Buat nge-cat, gotong-gotong triplek sama kursi,  bawa-bawa map buat minta tanda tangan guru, liburan sekolah terpaksa dipotong buat mendewakan si acara besar, mikirin dresscode… blablabla.
Sekarang, yang ada tinggal kangennya aja. Udah lima tahun lebih berlalu, dan ada rasa kangen sama seragam cokelat yang satu itu ketika buka lemari (Iya, masih ada. Dan yes, one of the reason why I love scout because the uniform :p). Yang nggak tahu kapan dipakai lagi, dan yang nggak tahu masih muat apa nggak karena sejak I took off  the uniform, aku belum pernah pakai lagi setelahnya.
Jadi, ini sebagian kecil dari kenang-kenangan semasa sekolah dulu yang kuceritakan. Nanti kalau ada momennya lagi, atau lagi kepengen flashback, aku ceritain lagi yang lainnya. *lalu semuanya bubar jalan* =))
-AF



2 comments:

Anonymous said...

Ebuseeet Fhia mantan tapak suciiii... wkwkw Btw itu, jadi pramuka karena seragamnya...wkwk ternyata selera cokelatmu nggak berhenti di makanan ya fi >.<

FHEA said...

Bhahaha maniak tan... berasa cool aja gitu pake baju cokelat. #heh