Tuesday, January 3, 2017

DAY 2: SOMEONE TOLD ME ABOUT MYSELF THAT I NEVER FORGOT




Kembali berusaha continue post di sini, demi menuntaskan rasa kepo—gimana rasanya post setiap hari. Kali ini baru banget nulis habis pulang dari kampus.
Challenge hari kedua ini judulnya tentang someone told me about myself that I never forgot. Kalau dipikir-pikir, ada banyaaak. *halah* tapi ya gitu, begitu diminta pick one, atau kira-kira pilih mana yang paling membekas, jadinya yang ada di pikiran pada bubar jalan.
Jadi, sebelum benar-benar bubar, ada baiknya ditulis dulu di sini. B-)
Sekitar pertengahan tahun 2012 atau menjelang 2013—aku lupa tepatnya kapan. Saat itu, aku masih baru setahun lebih menjadi mahasiswi, seseorang pernah bilang padaku kurang lebih begini, “Kamu kan anak manja, kalau apa-apa kan gampang. Tinggal minta orang tua.” Sebuah kalimat yang hmm, kalau ada yang bisa dilakukan, pencet Ctrl+A+del deh khusus buat kalimat itu. Biar nggak keinget-inget lagi sampai sekarang. Kenapa? For some reasons, I keep asking to myself—and my fellow friends too—about that statement; apa yang salah dari seorang pelajar yang notabene-nya masih disubsidi orang tua?
Oh ya, disclaimer dulu, yang melontarkan kalimat tadi bukan dari keluarga (apalagi orang tua), saudara, sahabat-sahabat dekat yang tau bagaimana latar belakangku, orang-orang terpercaya—bukan! Kalimat itu juga nggak dilontarkan sekali dua kali di depanku langsung, entah beberapa kali (yang tentu saja dalam keadaan sengaja), sekalipun aku pernah menyatakan keberatan untuk mendengarnya. Dengan kata lain, kalimat itu membuatku terganggu.
Tapi orang itu nggak peduli. Beberapa kali setelah itu ia tetap melontarkan kalimat serupa, yang entah apa tujuannya—dalam konteks lagi ngetes aku. Buat apa coba? =)
Jadi benar ya apa kata mahfudzhot dulu; annaasu a’daa’un ma jahiluu (manusia itu musuh terhadap hal-hal yang tak ia tahu).
Kenapa aku keberatan?
Meski satu sisi mungkin kalimat itu ada benarnya; iya, aku manja. (yah, daripada orang tua sendiri dimanjain anak tetangga kan ya…), karena memanfaatkan posisi sebagai anak cewek satu-satunya, juga karena sebagai anak sulung yang cuma berdua sama nyokap sebagai cewek di rumah (karena itu, lemari nyokap jadi sering kubajak kalau aku udah bosen sama baju-baju di lemari—kebiasaan anak asrama yang nggak ilang =)). Dan kalau aplikasi dari bentuk manjanya itu sendiri adalah; kalau sakit yang tebersit pertama kali ya orang tua, bukan dokter atau obat-obat, masih punya kebiasaan cipika-cipiki sama orang tua sebelum ke mana pun pergi…, sampai di sini, aku tetap taruh checklist di list-list tadi, dan nggak merasa keberatan dengan aku yang begini, meski orang itu—atau sejenisnya—mengernyitkan dahi.
Salah satu hal yang diminta orang tua sejak dulu, dan aku berusaha langsung mengaplikasikan banyak hal (karena udah kebanyakan kepo) ketika ke luar pondok adalah; belajar apa pun yang kamu mau. Jadi saat itu aku ikut les bahasa sana-sini, ikut komunitas menulis secara rutin, belajar menulis. Oh satu hal lagi yang masih backstreet; aku pernah ikut les bahasa Korea, dengan ngumpulin uang jajan sendiri, demi paling nggak bisa ngerti dikit-dikit kalau nonton drama. XD
Beruntung aku bukan punya orang tua yang bilang; kamu harus kerja ini, gaji segini, kerja di sini, jabatanmu harus ini. Nggak kebanyang bagaimana aku mati terkaparnya kalau gitu.
Saat kalimat itu aku dengar, aku masih dalam keadaan hidup serutin jam kuliah dan les berjalan. Belum tahu bagaimana cara menghasilkan uang, belum tahu bagaimana cara menulis yang benar—waktu itu, bisa selesai nulis tanpa mengerut dibaca orang aja udah prestasi. Cuma tau; belajar, baca buku yang ingin dibaca, nonton drama biar bahasa Koreanya lebih improved, keep talking pakai bahasa Arab biar nggak belibet, latihan nulis juga. Dan orang itu melontarkan kalimat mahadahsyatnya tadi berulang-ulang seolah menekankan bahwa, “kamu tuh makhluk sepele, yang nggak se-strong aku.” Seolah juga, bahwa kami terlahir dari rahim yang sama, dan terjadi kesalahan pola asuh yang memberatkan dia.
Kalau ada yang bertanya apa yang terjadi antara kami selanjutnya adalah, di titik itu (dan juga karena beberapa faktor pendukung lainnya), akhirnya aku menyerah (menjadi temannya). Mungkin ada baiknya kami punya jalan masing-masing. Sehingga dengan itu, aku juga bisa menjaga diriku sendiri dari perasaan bersalah atau disalah-salahkan dari sebuah masalah yang aku juga belum paham di mana salahnya, juga untuknya; agar punya teman yang semoga kelak tidak sesentimentil aku menghadapi statement serupa yang sering dikeluarkannya. Aamiin.
-AF


6 comments:

Anonymous said...

Semacam dibilangin "Kamu pasti nggak bisa kurus" sama penjual martabak, ya. Padahal ketemu tukang martabaknya aja baru sekali. :')


*baru sekali beli di situ maksudnya, di tempat lain mah sering. wkwk

FHEA said...

tansis membuatku mengingat-ingat kapan terakhir kali makan martabak.......

Herukasious said...

DASAR CEWEK MANJA! GAK SETRONG! AKU DONG... SUKA BERPETUALANG.... *lift mana lift?*

FHEA said...

GA USAH KOMEN KALAU NGGAK BAWA OLEH-OLEH HASIL BERPETUALANGNYA!

yenita anggraini said...

Piah, aku mah suci kamu penuh do(s)a. Wkwkw...stay away from negative people!

FHEA said...

tanGi bae-bae nanti digigit serigala....