Monday, January 9, 2017

DAY 8: SOMETHING I STRUGGLE WITH



Kalau bicara soal ini di timing seperti ini, udah pasti aku cerita tentang drama skripsi. Eh, sebenarnya, aku pernah nulisin sebagiannya di sini, ding… dan iya, tulisan sepanjang itu benar-benar cuma sebagian dari drama perskripsian yang panjang.
Kemarin, saat dibaca si Habibi, dia protes, “Ah, kurang banyak blog lo. Belom diceritain drama TOAFL lo.” Dan sebenarnya, yang ketinggalan diceritain selama itu ada banyak. Dari; di tengah jalan dapat kabar sahabat seperjuangan meninggal, dosen pembimbing sakit sebulan, perpustakaan tutup sebulan, sidang ditutup sebulan, begitu udah ACC—ketahan gara-gara drama TOAFL 2 bulan. Iya, bener, du-a-bu-lan.
Dan yang mau aku ceritain di sini adalah yang prosesnya paling panjang itu, yang du-a-bu-lan itu.
Setelah mengalami satu kali anniversary ngerjain skripsi, lalu kemudian dapat tanda tangan dosen pembimbing buat bisa diajukan sidang, hal yang dilakukan pertama kali adalah nanya teman-teman pendahulu tentang bagaimana prosedur sidang dan apa-apa aja yang mesti disiapkan. Waktu itu, aku ketemu Yayah, yang konon doi mau wisuda bulan November, dan doi nge-support aku banget supaya punya wisuda-mates biar nggak berdua doang sama si Rissa.
Saat itu prosedur yang dia arahkan cuma sebatas nunjukin berkas ke bapak Sek-Jur, lalu biar beliau yang memproses datanya dan siapa penguji kita nantinya. Begitu aku merampungkan semua berkas, hal yang (baru aku tau itu) berubah terjadi; segala berkas harus masuk data TU dan dari situ kita dapat tanda tangan Kasubbag-nya tentang kelayakan kita bisa ujian apa nggak.
Dari situ juga, aku baru tahu peraturan baru; anak Sastra Arab baru bisa ujian skripsi kalau TOAFL-nya mencapai min 500, TOEFL-nya min 450. Peraturan ini awalnya baru sepik-sepiknya Pak Wadek, belum ada hitam di atas putih waktu itu. Peraturan baru banget berubah sejak dua minggu dari tanggal aku mengajukan berkas sidang. Dulu, peraturannya; kalau belum sampai ke angka segitu, maksimal tes untuk anak BSA; 3 kali TOEFL, 5 kali TOAFL. Sekarang, kalau belum mencapai angka minimal, harus mengajukan surat disposisi.
Sekali mengajukan disposisi, hasilnya harus ujian TOAFL ulang. Nunggu 2 minggu sampai dapat hasil. Lalu ngadu lagi sama Pak SekJur, curhat layaknya pas awal-awal ngeluh soal peraturan baru, lalu mau nggak mau tes lagi. Dari situ ketemu teman yang membawa ilham, “Lo kenal si ini, kan? Belajar sama dia aja gih. Dia bagus TOAFL-nya.” Lalu tanpa ba-bi-bu, begitu sampai rumah, aku langsung nge-chat dia demi pendongkrakkan skor.
Tes ketujuh (mau nggak mau) dilaksanakan. Nunggu lagi sampai 2 minggu untuk dapat hasil skor. Untuk tes yang kali ini, aku nggak sendirian, ditemani Habibi, dan kami berdua belajar dari teman yang sama. Karena itu, hasil yang ketujuh ini aku minta tolong dia sekalian untuk bisa dititipin hasil tesku barengan dengan hasilnya. Begitu dapat skor, kami yang awalnya masih 300 sekian, menjadi; dia naik sampai 413, aku melejit sampai 522.
Dapat skor semelejit itu rasanya kayak mimpi, yang berarti ada dua kemungkinan; aku lulus, lalu bisa sidang. Dan aku sidang, bisa jadi sasaran empuk buat dibantai kalau bahasa Arabku a-eu-a-eu. Antara rezeki tapi bisa jadi bencana. Rezeki yang destruktif. =))
Aku pikir, drama berakhir begitu dapat skor melewati batas minimal. Tapi kenyataannya, begitu aku melampirkan berkas, malah justru mengundang tatapan nggak disukai oleh bapak-bapak TU saat merekap skor. Beliau mengungkapkan keheranannya pada ibu-ibu kubikel di sebelah, seberangnya, di sekitarnya, perihal skor yang melejit itu. Bikin aku tersinggung, hey, ini gue yang capek belajar demi peraturan baru yang sh*t abis gini, dan lo bisa-bisanya ngerendahin cuma atas kecurigaan yang nggak berdasar?
Dan kebayang apa yang terjadi selanjutnya? Disuruh tes lagi. Hari itu juga aku ngeluh-ngadu-curhat dan ngadep sama banyak orang, termasuk bapak SekJur dan Pak Wadek (yang bikin peraturannya itu). Pak Wadek dengan ketusnya menyuruh aku ke TU lagi—yang bikin aku ogah banget ngadep mereka-mereka lagi. Sementara Pak SekJur menyarankan untuk menghadap Pak Dekan langsung seraya membawa bukti. Aku yang keukeuh nggak mau melakukan tes yang mengorbankan waktu-energi-materi demi peraturan yang nggak jelas ini, jelas ikut opsi kedua.
Di tengah menunggu Pak Dekan dari selesai rapatnya bareng teman-teman lain di depan ruangannya, KaSubbag TU keluar dari ruang dekanat dan nanya kami ada perlu apa—mungkin karena aku dan teman-teman nunggunya juga ngemper dan nggak enak banget jadi pemandangan ruang dekanat yang cool gitu =)), lalu aku menjelaskan perihal skor TOAFL dan aku bilang aku mau ketemu Pak Dekan buat membantu kasus ini. Si ibu KasubBag langsung mengambil alih buat menangani ini, lalu bolak-balik ruangan Pak Wadek (yang itu) demi memperoleh tanda tangan dan memo supaya aku bisa ikut ujian. Bisa dapat tanda tangan gitu aja? In your dreams. Sebelumnya jelas aku disalah-salahin; seharusnya kasus begini nggak sampai ke tangan Pak Dekan, karena tadi aku dirujuk ke TU.
Kalau kata Cinta AADC, sih, “Basi! Madingnya udah mau terbit!”
Tapi demi proses yang nggak makin rumit, jadi aku iya-iya-in aja. Biar lebih hemat energi.
Jadi, bisa dibilang dapat memo boleh sidang itu bagian awal hasil dari sekelumit proses. Ibaratnya, dalam proses melahirkan, ini masih pembukaan pertama dari 2 bulan masa kontraksi. Rasanya capek, tapi udah lumayan bisa senyum karena akhirnya ada titik cerah. Kebayang dong, di saat H-1 aku sidang dan sowan ke dosen pembimbing, yang si ibu bilang pertama kali, “eh? Kamu udah lulus belum, sih? Udah ibu tanda tangan belum, sih?”
Si ibu bahkan udah lupa kalau anak bimbingannya ini udah di-ACC dari 2 bulan lalu, dan baru dapat jadwal sidang besoknya.
Lalu kalimat kedua yang si ibu lontarkan, “Jadi kamu sampai kurus kering gini gara-gara urusin itu? Ya ampuuuun,” si ibu berdecak-decak, geleng-geleng, lalu melanjutkan, “kamu nggak nulis novel dulu, kan?”
Pertama, mudah-mudahan ibunya nggak tau kalo mahasiswinya ini gampang ge-er dibilang kurusan. Jadi pas direspons kayak begitu, jelas aja dalam hati aku ketawa (eh, apa udah ketawa beneran ya? Lupa). Kedua, prestasi banget ini du-a-bu-lan bener bolak-balik kampus dari rumah demi urusin ini. Sumthin’ that I never imagined before.

Jadi, itu deh (sebagian sesuatu dari drama sidang yang tertinggal di post sebelumnya) yang mau aku ceritain. Proses sidangnya sendiri udah aku ceritain di post sebelumnya, dan bisa dibaca di sana. Nggak tahu cerita ini nyambung apa nggak dengan tema hari ini, tapi dengan aku ceritain ini, rasanya lebih lega. Setidaknya bisa jadi referensi kemudian hari kalau ada yang nanya waktu masa-masa skripsi, bagian tersulit ada di mana, ngalamin drama kayak apa aja, atau siapa-siapa aja yang jadi sutradara drama itu. This post lil bit longer, dan semoga nggak bosen buat dibacanya.
-AF

5 comments:

yenita anggraini said...

(((Kontraksi dua bulaaaan))) Beberapa jam aja udah sesuatu bgt, Piaaaah. Kamu tangguh sekali, Nduk. Kereen..

FHEA said...

bhahahaha... kontraksi rasa harus siap kapan pun bisa keguguran, taaan... =)) *efek kelamaan*

Herukasious said...

Pek, aku ikut gedek sama bapak2 TU yang gosip itu. wkwkw percayalah manusia2 TU itu paling nyebelin kalo urusan administrasi. Lalu kebayang drama skripsi sendiri yg bolak balik kampus 1, 2, 3, berkas ilang, salah tanda tangan, kebelet boker pas ujian toefl sampe dosen yg nyimpen hasil toeflnya bilang, "nih, gak papa ya kecil juga, masih bisa ngulang ko." *laah kebablasan curhat. *

FHEA said...

bhahahaha heruuuuu...
nanti kalo meet up gue ceritain gimana nyebelinnya doi. yang gue ceritain di sini mah belum seberapaaaaa =))

Anonymous said...

Wkwkwk bacanya antara ngakak dan salut! alhamdulillah sekarang udah selesai dengan baik yaa... selamat menemukan petualangan selanjutnya, Piah!