Tuesday, September 22, 2020

DAY 3: A MEMORY

 


Beberapa hari kemarin, sempat viral soal ospek online. Iya, masih model perpeloncoan yang populer sejak zaman senior-senior terdahulu; Di mana kakak tingkat saling berebut bicara, adu omel ke para junior. Entah karena atribut, entah karena ingin dihargai, entah karena hal yang lain. Bedanya, di era pandemi seperti sekarang, di mana semua aktivitas sosial dipindahkan ke daring, ospek pun ikut pindah. Iya, ke Zoom. Di mana aplikasi tersebut biasa dipakai proses pembelajaran, meeting, atau sekadar interaksi antar teman. Lucunya, di Zoom itu suka nge-lag. Suka nggak sinkron antara bibir sama apa yang diucapkan. Bahkan suka lama menampilkan orang yang lagi bicara di layar utama. Lalu mau dipakai buat ospek yang ngomel-ngomel itu? Kalau aku jadi pesertanya, udah pasti bakalan ngakak dibanding takut.

Rekaman itu tersiar di YouTube, makanya ditonton banyak orang dan jadi viral. Akibatnya, menimbulkan banyak opini di kalangan figur publik yang mayoritasnya menyayangkan budaya tersebut masih menjamur. Kalau dipikir-pikir, dulu mungkin aku iya-iya aja ketika dibilang itu bagian dari hal melatih mental. Karena masih nggak tau mental seperti apa yang harus dimiliki di masa depan. Tapi, ketika sekarang, sudah ada di posisi di mana lulus kuliah, masuk kerja—entah di korporasi, buka usaha sendiri, sampai freelance, melatih mental seperti itu nggak linier juga, sih. Mau dibilang bagian dari cara berpikir kritis juga nggak terlalu masuk kalau kita hanya dibentak-bentak karena atribut yang ketinggalan. Karena di masa depan, bos-bos, para pemimpin, lebih sering berkomentar soal kinerja, ide-ide kita, dibanding penampilan. Yang terakhir, biasanya minoritas kalau kita bukan bekerja sebagai front liner.

Ngomong kayak gini bukan karena nggak pernah kena perpeloncoan, justru pernah ngalamin, dan kalau dipikir-pikir sekarang… kok ya nggak penting. Hahaha!

Di zaman sekolahku dulu, aku nggak mengalami yang namanya MOS. Pakai atribut aneh, sih, ada. Tapi nggak disuruh macem-macem. Cumaaaa…, melatih mentalnya justru jangka panjang. Selama kehidupan berasrama.

Di asramaku, ada budaya senioritas. Sudah jadi tradisi turun temurun kakak kelas 3 SMP menindas adik kelas 2nya, dan membela adik kelas 1. Anak kelas 1 yang notabennya sebagai anak baru, mesti ‘dimanja’ supaya tahan berada dalam ‘tekanan’ berasrama. Ditempa juga mentalnya supaya pas kelas 2 nanti bisa melawan atau minimal bertahan ketika ditindas. Sudah jadi budaya kalau kelas 2 itu posisinya nggak enakin. Kayak mangsa yang siap-siap diterkam dengan kejudesan kakak kelas 3. Jilbab keangkat dikit, ditegur. Tali jilbab kelepas, ditarik. Makan rame-ramean dibubarin. Yang paling malesin adalahhhh pernah aku waktu kelas 2. Ada dress code baju buat tur angkatan gitu. Udah beli, cakep, disita dong sama salah satu dari mereka. Alasannya nggak boleh punya seragam-seragam kayak begini. Wes lah udah kayak kakak tiri yang irian. Berita ini aku aduin sama temenku yang paling pentolan. Dia ngadu ke guru. Kakak kelas itu entah diapain, akhirnya bajuku dibalikin beberapa hari kemudian—yang tentunya melewati drama menebus baju dengan indomie 3 bungkus, udah kayak penculikan Sherina yang butuh 3 milyar.

 Konsep bullying kayak gini membuat stigma; adek kelas di bawah kami harus merasakan apa yang kami rasakan. Pokoke kalau udah jadi senior nanti, harus balas dendam. Padahal, kami sendiri belum tentu naik kelas apa nggak pada saat itu. Karena selain nilai, salah satu aspek yang menjadi penentu kenaikan kelas adalah… akhlak.

Yang aku ingat, ketika kami mau naik kelas, guru-guru justru melakukan inovasi preventif agar tindakan ini ketemu ujungnya. Mulai dari membentuk anggota kamar yang berisikan teman seangkatan (padahal biasanya lintas angkatan dengan harapan bisa akur, eh ternyataaa…, sebaliknya), lalu mengedukasi kami dengan dua sisi; logika balas dendam yang di mana-mana diperuntukkan pada pelaku (dalam hal ini kakak kelas yang bersangkutan), bukan adik kelas tak bersalah. Sekaligus sisi agamis yang mengatakan, kalau kami bisa menghentikan hal ini, maka kami akan mendapat pahala atas tindakan ‘zalim’ yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Efeknya memang nggak langsung musnah sih, yang nakal tetap nakal. Tapi aku merasa udah banyak berkurang.

Dulu, sih, nggak kepikir apa-apa ya, soal bullying ini. Sampai seorang guru, yang sekarang sudah almarhum, mengatakan hal yang sering diulang-ulang di zaman sekarang. “Kalian kan nggak tau, di masa depan yang kalian zalimi justru orang yang lebih sukses dari kalian. Lalu kalian minta kerjaan dari mereka, atau butuh bantuan, kita nggak pernah tau. Di zaman sekarang memang, kalian kakak kelas. Nanti di masa depan, kesuksesan itu nggak memandang usia.”

Dari situ aku merasa jleb. Karena belum pernah kepikiran sampai sana, ditambah guru tersebut menceritakan adik kelasnya yang sekarang lebih sukses padahal beliaulah kakak kelasnya.

Lalu kembali ke zaman sekarang, di mana aku sudah melewati itu semua. Kemudian mengerucut ke kasus ospek itu tadi. Kalau memang mau menempa mental dan berpikir kritis, kenapa nggak lewat membuat project, sih? Karena di dunia kerja, mental sama pikiran itu benar-benar teruji ketika ide kita dibanting, ditolak mentah-mentah, lalu disuruh berpikir ulang dalam waktu yang singkat dengan ide yang harus acceptable. Butuh mental yang kuat supaya bertahan dan tetap bisa berpikir di waktu sempit. Butuh banyak diskusi dengan banyak kalangan supaya bisa berpikir kritis. Butuh hati yang terbuka supaya lebih masuk terhadap saran yang disampaikan.

Ya memang bakalan lebih ribet buat kakak kelasnya, sih. Mengoreksi, memperbaiki, mempelajari projek tersebut, dibanding sekadar mengomentari atribut…. Hehehe.

-AF

7 comments:

yenita anggraini said...

Aku tuh selalu suka deh kalau Piah bahas soal sekolah asramanya. Dasar aku ya fans beratnya Enid Blyton dengan Malory Towersnya, jd yang dibayangin di kehidupan asrama itu seru banget kayaknya. Iya sih ada senioritas tapi tinggal bareng2 sama temen dalam waktu lama pasti bikin ikatannya kuat banget, kan...

Herukasious said...

Kok aku nggak tahu ya video ituu... dari awal baca pengen segera nonton videonya, tapi tahan.. kelarin baca dulu. padahal isi tulisannya unexpectedly bagus tapi pikiranku gak ilang2 dr pengen cepat2 nonton video ospek online itu 🤣

Fia said...

Tangi: iyaaa, di umur-umur segitu apalagi. lagi riweuh-riweuhnya pencarian jati diri, jadi bisa melihat teman-teman yang lain sebagai patokan berproses hahaha

Heru: yang kesebar di sosmed itu yang bagian ikat pinggang. kocak sihhh

Herukasious said...

Mereka yang gitu aku yg maluuu. Mana si mbak mbaknya ngeselin lagi 🤣. Biar apa sih 🙄 *gagal paham*

Fia said...

yakaaaan, kocak kaaaan... wkwkwk... Mbaknya jd viral di sosmed

Lugina said...

Aku nggak nonton video ospek2 itu. Tapi setuju sih, lebih baik kalo ospeknya diisi proyek2 yang berfaedah, kasih deadline, suruh presentasi, kasih masukan. Apa kek gitu yang membangun. Klo dipikir-pikir mah, mental apa atuh yang bakal terbangun dengan cara dimarah2in soal hal sepele? Apalagi dgn tindas menindas. :( sediih.

FHEA said...

Nonton deh, tan. Ironisnya, si kakak kelas yg menggebu2 soal mendidik mental, skrg mentalnya jd diuji org se-Indonesia. 😂