Friday, September 25, 2020

DAY 5: YOUR PARENTS


Ke-skip satu hari karena temanya cukup berat. Hahaha! Membahas orang tua—yang sebenarnya nggak gitu sering kubahas di mana-mana.

Jadi, gini, teman-teman… orang tuaku merupakan bagian dari pernikahan lintas budaya. Manado dan Jawa, jadi bisa dibilang aku anak Man-Ja. Mereka bertemu di Jakarta waktu nyokap kerja sebagai perawat di RSCM sementara bokap jadi pasiennya. Iya, se-cheesy itu. Kenalan beberapa bulan, lalu menikah.

Dua orang yang beda budaya tentu melalui adaptasi yang naik-turun—yang lucunya aku samar-samar merasa de javu di pernikahan Mia, temanku. Secara kultur, pola pikir, sudut pandang mirip-mirip. Nggak sama plek-plek, sih. Setiap pasangan punya ceritanya masing-masing.

Dan yang mau aku bahas bukan itu.

Ada dua momen yang bikin down banget di keluarga kami. Pertama waktu nyokap sakit, kedua waktu bokap sakit.

Kejadian nyokap sakit itu kalau nggak salah terjadi di 2016. Berawal dari munculnya benjolan kecil di leher—yang katanya sih nggak sakit atau gatal, kayak tahi lalat aja gitu nggak ada rasa apa-apa, tapi takutnya kenapa-kenapa. Diobservasilah ke dokter. Katanya itu tumor, jadi harus dioperasi. Wah, yang namanya tumor, bawaannya kayak mikir ke mana-mana apalagi harus dioperasi segala. Selama nyokap masuk RS, rasanya drop banget. Ditambah harus mengurus seeeeemua tugas domestik sebagai cewek satu-satunya di rumah. Waktu itu juga lagi skripsian, jadi capek fisik, down batin. Pikiran yang ke mana-mana itu tuh bikin kesel, apalagi pasca operasi dibilang jenis tumor itu tumor ganas. Kan ya…, gimana bisa benjolan kecil begitu dibilang tumor ganas? Pikiran nggak mau terima. Puncaknya waktu ada saudara yang dokter memberi tahu kemungkinan terburuk dari tumor ganas itu. Ya apalagi kalau bukan nyawa?

Kedua adalah ketika bokap sakit—yang mana baru-baru aja. Sebenarnya, beliau punya diabetes sejak aku masih SMP. Jadi selayaknya orang diabetes—dan hipertensi, makanan jadi hal yang perlu amat diperhatikan. Lebaran kemarin, setelah makan makanan lebaran yang banyak lemak itu, besokannya bokap makan mie instan dan bakso dengan takaran sambel dan jeruk nipis yang nggak manusiawi. Jam dua pagi diare, minta dibawa ke UGD. Sampai ke UGD, diarenya hilang tapi ‘biang-biang’ penyakitnya kumat. Kakinya bengkak karena diabetesnya itu, lalu merambat ke saraf—sampai-sampai divonis stroke ringan karena ada penyumbatan di kepala. Waktu itu, aku lagi ada di Solo, rumah Mbah. Dua hari dirawat, disuruh pulang lewat video call berulang-ulang. Nanyain anaknya satu-satu. Langsung ambyaaar. Akhirnya beli tiket di hari pertama new normal. Selama itu perasaan nggak tenang, sekaligus berusaha nggak mau panik.

Seharusnya semua berjalan biasa saja sampai di hari H aku pulang ke Bekasi, saudaraku di Solo yang rumahnya dekat dengan rumah Mbah, meninggal dadakan. Usianya masih muda dan keluhan pertamanya cuma kecetit atau bisa dibilang saraf kejepit mungkin yaaa. Selama lebaran kami masih bertemu, masih mengobrol. Meski dalam kehidupan manapun ini sangat mungkin terjadi, tapi rasanya tetap nggak percaya.

Hari itu rasanya linglung. Datang ke rumah duka, sementara bokap sendiri lagi komplikasi. Mau mengundur pulang tapi nggak mungkin. Rasanya juga takut. Segala ancaman yang ada di pikiran sendiri semakin sulit dikendalikan. Sepanjang perjalanan ke Bekasi bawaannya kayak nggak bertenaga, pandangan penuh menerawang, lemes selemes-lemesnya.

Sekarang, baik nyokap ataupun bokap Alhamdulillah sehat dan membaik. Bokap lebih ‘sembuh’ diobati dengan pengobatan alternatif daripada dua kali bolak-balik RS yang ujung-ujungnya diisolasi berminggu-minggu di ruang covid. Sampai sekarang Alhamdulillah udah bisa jalan, bergerak—meski refleksnya belum seperti orang normal, dan solat meskipun duduk. Ini perkembangan bagus dari yang tadinya apa-apa dipapah, didorong kursi roda, dan bicara sepatah-patah.

Semoga nggak ada lagi kejadian yang bikin patah hati kayak begini. Karena meskipun kita sering kali punya love and hate relationship sama mereka selayaknya keluarga pada umumnya,  rasanya tetap ambruk ketika melihat mereka nggak berdaya.

6 comments:

yenita anggraini said...

Aamiin, semoga orangtua kita diberi kesehatan selalu ya, Piah. Nggak ada sakit-sakit lagi.

Fia said...

Aaamiin tangiii... semoga ortu tangi dan sekeluarga sehat selaluuu

Lugina said...

Lagi-lagi aku skip dulu baca ini. Akan kembali nanti ketika sudah siap. Wkwkwk. Buat aku, butuh energi lebih baca dan mulis tentang orang tua itu. 😄

FHEA said...

Sebenernya aku juga iyaaa... Hahaha makanya aku smp skip sehari🤣

Herukasious said...

Nggak tahu mau komen apa..

Awalnya mau komen soal singkatan ManJa yg bikin ngakak, tapi begitu baca sampe akhir, aku jadi mikir, kamu luarbiasa kuat ya bisa menyembunyikan itu tanpa sedikit pun curhat di sosial media. Meskipun perempuan, tapi kamu adalah anak pertama. Kamu sukses besar menjalankan peran itu. Duh mendadak jadi inget kakakku dong. Anjrit aku nerasa emosional kan di postinganmu yg ini. 😂😂😂

FHEA said...

Terus postingan terbaru lo mana? HMMMM?