“Kolom satu saudaranya bi jarin, lagunya… bi ka
li laa, ila ‘ala, bifi’lin an dzorof hatta…”
Ada yang tau belajar atau ada
yang pernah belajar Tamyiz?
Nah, salah satu kenanganku belajar
bahasa Arab di Pare adalah belajar Tamyiz. Salah satu metode baru yang
dikembangkan oleh seorang kiai untuk mempermudah para pelajar dalam mencerna
bahasa Arab, mulai dari yang masih bocah sampai yang udah bangkotan.
Cara belajarnya? Kita sebagai
murid itu harus bernyanyi! Yap, harus. Lagunya bervariasi di tiap
kolomnya dan disesuaikan dengan lagu zaman sekarang. Contohnya kalimat di atas,
kolom satu itu menggunakan nada dari lagu Iwak Peyek. Sedangkan pada kolom
lainnya, mempunyai nada sendiri-sendiri. Dan lagu-lagu di tiap kolom Tamyiz itu
kami sebut sebagai mantra.
Pertama kali dikenalkan pada
metode Tamyiz, tentu saja aku heran plus penasaran. Selama ini dalam
ilmu nahwu yang kupelajari, Tamyiz itu dikenal sebagai takaran. Ada Tamyiz
jarak, timbangan, dlsb. Tapi, ini beda. Justru Tamyiz yang dimaksud karena
metode ini dibentuk sama kiai yang bernama Tamyiz. Maka, digunakanlah sekaligus
sebagai nama metodenya.
Rasa penasaranku bertambah
begitu teman-teman semaskan mempromosikan pelajaran ini saat taqyim (evaluasi)
setelah maghrib. Testimoni dari mereka yang pernah belajar, katanya mempelajari
Tamyiz itu menghilangkan stress. Rasanya asyik-asyik aja gitu disuruh belajar
sambil nyanyi. Adu kencang suara juga boleh. Mau yang ditampilkan justru suara
falsnya juga nggak masalah. Pokoknya bebas. Siapa yang nggak tertarik coba denger
kalimat provokatif macam begini? Lagi pula, rasanya unik banget gitu, belajar
nggak pakai stress. Apalagi belajar bahasa Arab yang notabene-nya justru
rumit.
Singkat cerita, aku akhirnya
mendaftar dan membeli bukunya. Setelah mencocokkan jadwal beserta pengajar,
jadilah yang terpilih Ustadzah Nadia Sarah Shabrina Safnihar yang
mengajarkanku dalam metode ini.
Kami memulai pelajaran ini
justru paling terlambat. Sekitar sepuluh hari sebelum pulang, itu pun cuma
berlangsung sampai tiga pertemuan, karena susah mengatur jadwal. Dan selama
mengenyam pelajaran yang nggak tuntas itu, aku ditempatkan ke dalam satu
kelas bersama mayoritas mahasiswi-mahasiswi teladan. Siapa mereka? Ada Mbak Ani
Ana (atau Ana Ani, ya? Lupa. Pokoknya itu :D) yang paling pendiam, Badi’ah,
Ariena, sama Nadia. Saking teladannya mereka, nggak segan-segan buat
berpartisipasi kalau aku dikit-dikit protes sama lagu dari mantra Tamyiz yang menurutku
rada-rada. :p
Contohnya begini, aku kasih
gambaran salah satu adegan a la mahasiswi teladan yang lagi belajar Tamyiz sama
ustadzah yang masih jadi anak sekolahan.
“Udah lanjutin lagi, nih,”
kata ustadzah Sarah yang waktu itu mungkin lagi berusaha buat
mengendalikan kita yang bawel. Ia menyanyikan lagu dari salah satu kolom (yang
aku lupa kolom berapa), yang menurut kita paling awkward. “huwa huma
hum, tak gendong, hiya huma hunna, gendong balik, anta antuma
antum, anti antuma antunna. Ana nahnu, ana nahnu…”
Aku cengo. Lagu apa coba
pakai ada adegan gendong-gendong segala? Mau dikaitin sama lagunya Mbah Surip
juga nggak sama.
Aku lihat ekspresi
teman-teman sekitar. Berharap bukan aku doang yang merasa aneh begini.
Tapi Mbak Ani tetap diam
sambil senyam-senyum sebagai respons. Atau mungkin karena dari sananya dia
diam, ya? Entah.
Badi’ah membuka mulut
lebar-lebar. Matanya dipicingkan. Pasti dia juga heran.
Nadia mengerutkan dahi. Mungkin
ini pertama kalinya dia yang sebagai penyanyi dengar lagu yang unik begini.
Ariena? Pingsan. ;p
Maka, sebelum semuanya
pingsan, aku mengambil alih situasi, “Ih, kok aneh banget, sih? Nggak mau
nyanyi ah.”
“Nggak boleh nanyaaa!!” seru –entah
suara siapa.
Yup, satu keunikan lagi di
belajar Tamyiz ini, kita dilarang bertanya! Unik, kan? Padahal, dari kecil di
tiap pelajaran apa pun, justru ada penekanan buat siswa untuk bertanya supaya
tidak tersesat menelan pelajaran. Tapi saat belajar Tamyiz, justru berbeda…
Kemudian Nadia, Ariena sama
Badi’ah punya cara lain. Mereka tetap nyanyi, dengan menambahkan kata ‘serrr’ ala
lagu dangdut di dalam mantra itu. Jadinya kayak begini; “huwa huma hum, tak
gendong, serrr, hiya huma hunna, gendong balik, serr….”
“Heh! Laa tughoyyir!”
Kali ini, seruan datang dari
kamar tetangga membuat kita bergeming sekaligus cekikikan. Artinya, kita nggak
boleh mengubah-ubah lagu.
Yap, rules selanjutnya
dari belajar Tamyiz ini, kita nggak boleh menambahkan, mengurangi, membuat
variasi sendiri baik dari kata, nada, ataupun lagu. Sekreatif apa pun kita
suka, pokoknya nggak boleh. Harus menurut ajaran dari sananya supaya kita
nantinya nggak kebingungan sendiri saat belajar. Termasuk dilarang mengaitkan
ilmu shorof atau nahwu dalam belajar ini.
Sebenarnya, yang paling
penting dari belajar apa pun adalah menikmati. Kayak kita berlima ini,
menikmati belajar teorinya sekaligus menikmati buat ngerjain ustadzahnya yang
masih bocah. :p Meskipun beberapa kali aku (doang) yang harus kena
tamparan di tangan ataupun paha dari si ustadzah yang songong itu,
ikhlasin aja. Mudah-mudahan lain kali ada waktu buat ngebalesnya. *siapin
sarung tinju*
Anyway, meskipun tiga kali belajar
Tamyiz, teorinya lumayan ngena di aku. Setidaknya sedikit banyak mengerti lah,
meskipun sebenarnya nanggung banget karena (sayangnya) nggak sampai tuntas. Penasaran
sih sebenarnya buat selesaiin sampai Tamyiz 3. Tapi waktu kita nggak cukup.
“Ada CD-roomnya nggak, sih? Nanti
kita belajar dari dengarin dari sana aja,” usul Ariena yang sebenarnya pakai
bahasa Jawa yang kental. Anggap aja dari kalimatnya kalau dia benar-benar
mahasiswi panutan yang suka mengulang pelajaran di luar kelas. :p
“Ada, tapi nggak boleh. Belajar
Tamyiz itu modelnya harus begini. Face to face sama gurunya,” jawab
Ustadzah Sarah –yang tentu aja bikin kami cemberut.
Rada bête, memang. Apa-apa
dibatasi. Tapi, kalau kita harus berpikiran luas, strategi belajar yang seperti
ini justru bagus. Jadi, nggak ada penyelewengan dari teorinya supaya bisa
ditangkap siswa seratus persen.
Lalu, Ustadzah Sarah
menggoreskan tulisan di papan tulis. Kali ini, kita belajar analisis kalimat
dari Al-Qur’an dengan teori Tamyiz.
“Lho, kok pake spidol ijo
sih, ustadzah?” aku bertanya lagi.
Ustadzah Sarah menoleh.
“Eh iya , lupa. Nggak boleh
nanya ya…”
Sontak, dia tergelak. “Gebleek…!”
sahutnya seraya menamparku. Kali ini kena paha.
Siaull. Monyong banget sih
bocah ini! err….
Ini dua buku Tamyiz yang jadi objek pembelajaran. |
Ini sejarah Tamyiz yang harus dicatat di pertemuan pertama! dan kalau bisa, pakai pensil catatnya. :)) |
-AF
Comments
health, what we give our kids to drink is equally as significant as
the standard of food we let them have to eat. The range of medicines for children also may include medicines and accessories
for infants and toddlers. According to Ayurveda the obese persons tend to be
vulnerable to the next diseases.