Aku mematut
diri di depan cermin cukup lama. Benda yang berukuran nyaris setengah badanku itu
memantulkan sosok yang menakutkan untuk dilihat; tubuh yang kurus, wajah yang
semakin tirus, kelopak bawah mata yang semakin hitam, serta bibir yang tak lagi
memerah. Ya, itu aku. Aku yang menakutkan. Dan kenyataan itu tidak ingin kuubah
sekalipun hanya dengan menggaris senyum.
Lagi pula,
apa yang bisa dijadikan alasan untuk senyum saat keadaan seperti ini? Kalau pertanyaan
itu dilontarkan kemarin—ketika terakhir kali aku sadar sebelum ini, mungkin jawabanku
saat itu adalah; aku akan tersenyum di saat darah tidak mengaliri tubuhku,
napas yang tak lagi berembus dari diriku, serta jiwa yang terpisah dari ragaku.
Saat itu, aku ingin kelopak mataku terpejam selamanya dan aku tersenyum penuh kedamaian. Meninggalkan
segalanya. Meninggalkan luka. Meninggalkan dia.
Aku sendiri
tidak mengerti entah bagaimana caranya bisa ada di sini—ruangan yang didominasi
warna putih serta terdapat beberapa bilik dalam satu kamar—dan tidak mengerti
juga sejak kapan ada di sini. Karena yang terakhir kali kuingat adalah aku
berada di laut, seorang diri, dan tetap pada niatku untuk menjadikan tempat itu
sebagai tempat terakhir kali aku membuka mata. Aku ingin mengakhiri hidup di
tempat yang paling kusuka. Tempat yang mengingatkanku padanya.
“Kau harus
istirahat dan makan makanan yang kami beri, Nona.”
Oh, sial. Kenapa
harus ada perawat ini di sini? Aku tidak ingin makan apa pun, dan kurasa, aku
juga sudah cukup lama berbaring sejak kemarin-kemarin. Aku membenci diriku
sendiri yang masih bisa membuka mata dan bernapas normal saat ini. Kenapa perawat
ini tidak membiarkanku lebih lama menatap cermin untuk melampiaskan segalanya?
Aku menatapnya
tajam dan penuh amarah, tapi perawat itu justru mengabaikanku. Sebegitu lemahnya
kah sorot mataku saat ini sampai apa yang kuekspresikan tidak tersampaikan
dengan baik?
Baiklah,
kalau begitu, aku yang harus berbicara, “Kalau saya istirahat dan makan
sekarang, apa saya akan mati secepatnya?”
Perawat itu
terkejut—sebelum akhirnya ia mengendalikan diri dan bertanya, “Maksudmu, Nona?”
“Suster
tidak tahu apa yang saya mau. Saya tidak menginginkan makan. Saya tidak ingin
istirahat. Saya ingin mati. Secepatnya.”
Kulihat perawat
itu terdiam sebentar, lalu meraih sebelah tanganku—yang segera kutepiskan. Hidupku
terlalu banyak mempercayai orang yang salah, dan aku tidak ingin memperbanyak
daftar kesalahanku dengan mempercayai orang baru.
Aku tidak
ingin berhadapan dengan orang yang pura-pura baik saat ini!
“Kau diberi
kesempatan untuk melanjutkan hidup, Nona. Mungkin ini cara Tuhan untuk memberitahumu
bahwa ada sesuatu yang ingin Ia tunjukkan. Sesuatu yang tak bisa kau lihat
kalau kau mengakhiri segalanya.” Perawat itu memberi petuah padaku. Cih!
“Menunjukkan
sesuatu?” Aku tertawa sinis. “Melihat seseorang yang dulunya kaupercaya
meninggalkanmu, contohnya? Lalu dia memamerkan kebahagiaannya ke mana-mana
sementara aku…” Kutatap jarum infus di punggung tanganku yang terhubung pada
kantong yang menggantung di tiang infus yang kubawa ke mana pun aku berjalan
saat ini. “Berada dalam kondisi seperti
ini?”
Aku sedang
berharap perawat itu menyerah, lalu mengabaikan gerutuanku dan meninggalkanku
sendirian. Tapi yang terjadi adalah perawat itu tersenyum, mengantarkanku ke
bilik, dan membantuku berbaring di atas ranjang. Aku kembali dimintanya untuk
istirahat, kalau memang bersikeras tidak ingin makan sesuatu apa pun yang
disediakan.
Saat itu,
tidak ada yang bisa kulakukan selain memejamkan mata, sementara potongan
memoriku tentang dia menyesakkan kepala. Saat itu juga, aku sadar bahwa aku
tidak bisa menahan lelehan air mata yang keluar dari sudut mata. Semua mengalir
begitu saja, sulit kucegah.
Sampai samar-samar
kudengar suara seseorang yang berbicara dari balik gorden bilikku. Suara yang
mirip dengannya. Koreksi, sangat-sangat mirip. Keyakinan itu membuatku membuka
mata—yang kemudian rasa percaya diri itu disadarkan oleh kondisi tubuhku yang
rasanya makin lemah.
Ah, apakah
itu karena aku terlalu berhalusinasi akibat efek sakitku?
-AF
*tulisan ini disertakan dalam
tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi bertema Sakit.
Comments
kenapa gambarnya yoon eun hye?
jadi berasa nonton drakor deh
salam kenal dari Bening - KF13