Sorry for
absent!
Baru saja
melewati masa-masa di mana aku mengejar dosenku, dan dosenku mengejar dosennya.
Kami layaknya lagi lomba estafet di acara Benteng Takeshi. Dari kampus satu ke
yang lainnya, dari tugas akhir satu ke yang lainnya. Zzz.
Kalau kata
seorang teman yang udah lulus, “Dinikmatin aja masa-masa kayak gitu, Al. Nanti
kalau udah lewat, bakalan kangen.” O jelaaas, selama urusannya nggak sama Pak
Wadek dan orang TU insya Allah masih bisa menikmati. Insya Allah energi dan
emosi masih masuk garis aman. A-ku-seh-throoonghhhh…
Dan… ngomong-ngomong soal what I feel
strongly, sebenarnya… aku nggak begitu punya fokus bakalan ceritain ini ke
arah mana. Aku concern ke banyak hal, dan saking banyaknya, jumlahnya
masih setengah-setengah. Aku suka dunia bahasa, kadang cenderung lebih suka
dunia sastranya, suka care sama dunia fashion dan make up,
fotografi, lifestyle para public figure, perfilman…. Eh, ini
nyambung sama tema nggak, sih? :’)
Nah, karena
abis baca blognya Heru yang sedikit-banyak ngomongin soal volunteer, kayaknya,
bakalan asik ngebahas itu aja, ya?
Jadi, di
tengah-tengah waktu menyusun skripsi kemarin, aku sempat curi waktu untuk mengikuti
kegiatan volunteer. Pilihanku jatuh pada Kelas Inspirasi, salah satu
konsep yang ada di bawah gerakan Indonesia Mengajar. Kegiatan itu merekrut
orang-orang profesional, minimal dua tahun yang bekerja menggeluti bidangnya
dan menjadi tiga bagian relawan; fasilitator, inspirator, dan dokumentator. Dokumentatornya
itu sendiri terbagi menjadi fotografer dan videographer. Dan semua yang terekrut
ini akan dipecah menjadi beberapa bagian kelompok yang nantinya akan tersebar
di beberapa wilayah dalam satu cabang KI. Misalkan kemarin aku di KI Jakarta,
di KI Jakarta misalnya bekerja sama dengan 20 SD (menengah ke bawah), dan di
masing-masing SD terdapat satu kelompok KI yang lengkap terdiri dari
fasilitator, inspirator, dan dokumentator.
Awalnya cuma
iseng daftar karena dapat flyer KI dari seorang teman, lalu sempat
pesimis buat ikut mengingat persyaratannya harus profesional yang sudah
bekerja, tapi karena penasaran, maka aku mendaftar jadi dokumentator bidang
fotografer. Tadinya berpikir bakalan nggak diterima, tapi ternyata aku dapat
email pengumuman dan silabus KI. Itu rasanya… bingung. Antara deg-degan, tapi
senang, lalu panik karena takut beradaptasi sama tempat baru, terus sempat berpikiran
mau gugur aja…
Kenapa
fotografer? Pertama, karena ini pertama kalinya jadi relawan, jadi pengennya membidik
dulu. Baik lewat kamera, ataupun mata sendiri, tentang bagaimana proses jalan
kreatifnya Hari Inspirasi yang dilalui oleh fasilitator dan inspirator. Kedua,
aku belum punya profesi apa-apa yang bisa dikenalkan anak-anak, apalagi saat
itu aku masih menjadi mahasiswi tingkat akhir yang nggak tahu kapan sarjana
menjemput. :’) Jadilah aku merasa nggak begitu mumpuni untuk jadi inspirator.
Mulanya sempat
rada minder, takut, grogi didukung perasaan-perasaan sejenisnya begitu beneran
memutuskan untuk join. Minder karena setiap kali ditanya, “kamu kerja
apa?” atau, “kerja di mana?” dan aku menjawab, “aku masih kuliah, nyusun
skripsi,” sambil menyeringai, sementara lawan bicaraku adalah orang-orang yang
udah ‘jadi’. Sesekali aku mengaku sebagai penulis sebagai informasi tambahan,
meski dalam hati menambahkan;
penulis-yang-bukunya-saat-itu-masih-digodok-editor-dan-nggak-tau-kapan-terbit. Ini
jelas banget timpang sama anggota kelompokku (kami sudah dipecah berkelompok
sebelum simulasi awal, btw) yang bekerja di tempat kece dan berprofesi
kece juga. Fasilitatorku sendiri adalah seorang psikolog yang tengah menjalani
pendidikan S2 di UI sambil bekerja, lalu videographer kelompokku sendiri adalah
seorang videographer di M*tro TV, belum lagi inspirator-inspiratornya; ada yang
sebagai apoteker di Kimia F*rma, jurnalis di N*t TV, humas di berbagai showroom,
peneliti. Ditambah lagi saat hari H kami dapat bantuan drone yang
dikendalikan oleh salah satu videographer pribadi presiden.
Jadi,
kebayang kan siapa yang paling bungsu di kelompok ini? =))
Beruntungnya,
selain jabatan mereka kece, mereka juga low profile bangeeeet. Mau terjun
di dunia relawan, which is tempatnya nggak sekeren kantor mereka, rela
ambil cuti atau izin buat survey, kalau lagi meeting nggak hanya bahas progress
tapi juga hal-hal pribadi yang bikin sekelompok jadi blending. Pokoknya ada
beberapa hal yang bikin aku kagum sama pribadinya kakak-kakak sekelompok (ehm),
dengan pekerjaan yang mereka punya dan cara bekerja mereka dalam hal teamworking
ini.
Itu baru
tentang kelompok, kali ini aku mau cerita tentang sekolahnya.
Kami ditempatkan
di SDN Manggarai 9 (eh, 9 apa 11 apa 13, ya? Begitulah=))) yang letaknya
bersisian dengan stasiun Manggarainya sendiri (jadi kalau naik kereta arah
Manggarai, suka lewatin sekolah ini). Berbangunan besar dan berlapangan luas,
tapi itu juga dibagi jadi beberapa sekolah. Ada SDN Manggarai 9, 11, 13, 15,
17, 19—jadi… anggap aja wajar ya kalo aku lupa ditempatin di SDN berapa. =)) SD
yang kutempati sendiri ada di sebagian lantai 2 dan satu kelas berisi sekitar
empat puluhan anak. Dalam hal ini, aku salut sama kakak inspirator untuk nge-handle
anak-anak yang (mungkin) harus menguras energi sedemikian banyaknya.
Kenapa
begitu?
Pertama, layaknya anak SD pada umumnya yang ada di
masa aktif-aktifnya, mereka sama seperti yang lain; lari-larian, saling
mengejar, bersimbah keringat, beraroma matahari. Saat pertama kali simulasi
dengan Ibu Kepala Sekolah, beliau bilang, “Anak-anak di sini senang sekali
dengan kehadiran kakak-kakak relawan. Mungkin karena bosan dengan gurunya, jadi
setiap kali mereka diajar oleh wajah baru, mereka riang.” Dan itu memang benar
adanya, mereka excited saat hari inspirasi tiba, saat kelas mereka kedatangan
inspirator yang mengenalkan profesi-profesi pada mereka, saat kamera membidik
proses belajar-mengajar pada mereka.
Kedua, saking excited-nya, nggak hanya satu
kelas terjadi ‘drama’. Dari mulai desak-desakan, tubruk-tubrukan, bersumpah-serapah,
terus nangis. Oh ya, satu notes lagi yang waktu itu kuperhatikan, yang
namanya sumpah-serapah, atau kata-kata kasar itu literally keluar dari
bibir si anak—bahkan itu bisa terjadi di percakapan sederhana yang ringan. Ibu
KepSeknya sendiri sudah bilang pada kami di awal, “Anak-anak itu, karena latar
belakang keluarganya serba kurang, jadi ngaruh ke psikologis dan sosiologisnya.
Jadi, secara background-pun para orang tua mereka terbiasa berucap
kata-kata kasar, yang kemudian diikuti si anak dalam pergaulannya. Kami sebagai
guru hanya bisa pelan-pelan mengingatkan, menghaluskan mereka.”
Jadi, buang
jauh-jauh deh bayangan orang tua murid mereka yang datang ke sekolah itu bawa
mobil yang terparkir berjejer di lapangan luas, membawa iPad di tangan kiri dan
tas bermerek di tangan kanan… karena pada dasarnya, mereka yang tinggal di
samping rel kereta itu, berprofesi sebagai pemulung, kuli, pengamen dan
kawan-kawannya—yang mengandalkan Kartu Jakarta Pintar untuk sekolah anak
mereka, dan yang kalau ada pertemuan orang tua dan guru mereka jarang hadir,
kecuali ada embel-embel ‘materi’.
Sampai titik
ini, aku pikir sudah cukup nyess buat self reminder. Sampai ada
cerita lanjutan dari Ibu KepSek.
“Di sini ada
satu anak yang berhari-hari nggak masuk sekolah. Kalau ini terjadi pada sekolah
lain, mungkin anak ini di-skors atau drop out. Guru di sini pun nyaris
nggak peduli sama kasus ini. Tapi saya minta untuk diselidiki anak ini kenapa
nggak masuk. Lalu saya tahu sebabnya. Anak ini nggak masuk sekolah karena nggak
punya uang sepeser pun untuk ongkos ke sekolah—barang seribu-dua ribu. Orang
tuanya tidak memberi uang, yang akhirnya ia bolos sekolah. Jarak dari rumah ke
sekolahnya jauh. Sampai akhirnya saya turun tangan,” kurang lebih begitu kata
Ibu KepSek.
Lalu ada
cerita-cerita mengenai anak yang lain; anak yang sepulang sekolah harus ikut
memungut dan mencari uang—yang kalau nggak menutupi kebutuhan, orang tuanya berlaku
kasar; anak dari single parents yang ayahnya kabur dan dia berjuang
bersama ibunya, anak disabilitas, anak yang mudah tantrum—yang semuanya cukup
membuat aku diam selama di kereta perjalanan pulang, sambil dikit-dikit
berdiskusi dengan Kak Nona (salah satu inspirator kelompokku yang kebetulan
satu arah pulang) tentang hal-hal yang kami dengar di ruang kepala sekolah
tadi.
Jadi relawan
itu memang capek—asli ini nggak pake bohong—tapi ada hal-hal sentimentil
lainnya yang konon menggerakkanku pribadi untuk melakukan ini (lagi) begitu
usai. Aku sendiri mungkin nggak ada passion mengajar sama sekali—meski pernah
dibekali saat sekolah dulu dan KKN kampus, dan nggak sesabar inspirator atau
guru-guru lain dalam menghadapi anak kecil. Kalau dilihat dari ukuran ‘nyata’
juga, jadi relawan justru rugi. Kami berkorban energi, waktu, materi, pikiran,
demi hal-hal yang nggak membalas kami nantinya. Kami nggak dapat gaji, hadiah,
kenaikan pangkat, atau yang lainnya. Sampai akhirnya, ada pengalaman-pengalaman
berharga yang tak bisa dinilai dari angka dan bentuk nyata; belajar membuka
mata dan hati lewat kehidupan orang lain, senantiasa bersyukur dari hal yang
besar sampai kecil—yang semuanya tidak didapat dengan kita hanya duduk di
bangku pendidikan.
Yang kalau
kata Pak Anies, “Relawan tidak dibayar bukan karena tidak bernilai. Tapi karena
tak ternilai.”
Oleh-oleh pas KI! Mau difoto aja rusuuuh =)) |
Piagam cita-cita yang ditulis sama anaknya sendiri. |
Foto satu kelompok sama Ibu Kepala Sekolahnya. Tebak yang mana? :p |
-AF
Comments
Asik-asik... apakah ini pertanda akan ada kue cokelat di rumah? :p