Introduction sedikit.
Aku punya
hobi menulis sejak masih jadi anak SD. Sekitar dari kelas empat atau lima. Hobi
itu membawaku ke rubrik ‘Apa Kabar, Bo?’ pada majalah Bobo langganan, karena
salah satu surat untuk majalah tersebut dari sekian surat yang kukirim ke sana.
Surat itu sendiri kutulis saat masih kelas 6 SD—daaan, baru di-publish-nya
justru saat aku udah SMP. Which is, udah jadi anak pesantren. Jadi,
aku sendiri nggak punya fisik majalahnya gimana saat tulisan perdanaku dimuat. :’(
Salah dua
dari sekian poin (yang kulupa) pada surat itu adalah, aku request ke Bobo
untuk suatu hari nanti bonusnya kertas binder, dan aku meminta kenalan sahabat
pena. Yang pertama, karena aku udah masuk pesantren, aku nggak tahu apakah
majalah Bobo setelah itu menghadiahkan kertas binder sebagai bonus atau nggak. Yang
kedua, itu benar-benar terwujud; aku punya sahabat pena. Dan banyaaak. Saking banyaknya
sampai kewalahan begitu orang tua menyambangiku ke pondok—di pekan pertama
masuk pesantren—dan membawa amplop layaknya aku redaksi majalah. Benar-benar
kebanjiran.
Nah, salah
satu dari banyaknya amplop sahabat pena, ada satu yang bikin aku kaget, melting,
tapi sekaligus nggak bisa berbuat apa-apa; salah seorang anak dari Jakarta,
cewek, melampirkan tiket pertunjukan teater dari salah satu tempat pertunjukan
kesenian di Jakarta, sekaligus menawarkan untuk aku jadi pemainnya kalau aku
mau. Jadi bisa dibilang free open recruitment dari ‘orang dalam’ karena
si anak ini aktor di tempat itu.
Aku kaget, saat
itu karena ngerasa aku masih kecil dan secara cuma-cuma ditawarin (hal yang
menggiurkan) kayak begini—hanya karena nulis di majalah. Satu sisi juga senang
karena pengeeeeen banget ikut. Tawarannya bikin penasaran. Aku udah membayangi
suatu hari nanti ada di panggung kesenian Jakarta bersama aktor-aktor lainnya
yang lebih keren. Satu sisinya lagi, benar-benar nggak bisa berkutik apa-apa
pas Bokap bilang, “udah Abi batalin, Kak, lewat telepon. Abi bilang, ‘Wah,
sayangnya… anaknya udah masuk pesantren…’”
Itu sempat
bikin lemes-selemes-lemesnya. Responsku saat itu kalau nggak salah meracau pengin
banget ulang waktu—karena pas diperiksa lagi, tiket itu udah expired beberapa
hari saat aku pegang. Atau gimana caranya nggak jadi anak pondok lagi supaya
siapa tahu pas aku dapat tawaran-tawaran serupa bisa ngikutinnya. Ini ibaratnya,
you already hold a gold in your hands and you throw it to garbage. Sedih
gaes.
Sejak itu,
kata-kata pengandaian sering datang. Lebih ke bentuk ‘what-if’
penyesalan; andai kalau bukan jadi anak pondok. Dan semakin sering dan
kuat datang kalau lagi di masa-masa jenuh di pondok, lagi banyak-banyaknya PR
hafalan, lagi bĂȘte sama ustadzah biro pengasuhan, lagi slek sama temen,
lagi jengah sama banyaknya peraturan yang bikin nggak sebebas anak-anak sekolah
lainnya, dan terutama ketika punya teman satu perasaan serupa yang pengennya cepat-cepat
keluar.
Penyesalan itu
juga bertahan sampai sekitar tahun ketiga jadi anak pondok. Sampai akhirnya
tahu bahwa sebenarnya menyesal tentang masa lalu itu nggak baik. Karena selain
kita seakan ingin banget mengubah takdir yang sudah digaris Yang Maha Kuasa,
itu juga mengikis kita dari rasa bersyukur; atas apa yang terjadi di masa lalu,
tentang kenangan-kenangan baik yang layak disimpan, juga tentang masa depan
yang (siapa tahu) baik ke depannya.
Jadi,
sebenarnya berandai-andai yang lebih baik itu kalau yang kita andaikan adalah
masa depan. Membuat kita keep dreaming, do something, dan make
a plan to achieve it.
Sejak saat
itu, yang dilakukan adalah berusaha menerima. Lagi pula, masa-masa tiga tahun
awal jadi anak pondok juga nggak bisa dibilang buruk. Seru banget malah. Aku jadi
punya pengalaman ikut banyak eks-kul besar (eh, cuma coba dua doang ding), dari
situ jadi sering kemah, pensi, out bond, wide game, lalu
ngerasain juga yang namanya nyeburin teman ulang tahun di kolam biro
pengasuhan, manjat pagar besi yang tingginya dua setengah kali lipat pakai
gamis, ngumpetin dan ngobrak-abrik lemari teman yang ulang tahun, nyeker dari
lab biologi sampai kelas yang jauhnya alaihim gambreng karena sepatuku
diumpetin teman—sebagai bagian dari tradisi ultah—sampai diliatin anak-anak
putra yang lewat, punya pacar pertama kali (ehm) dan taktik kirim surat-suratannya
macam Angelina Jolie di film-film action supaya nggak ketahuan… eh, ini
kok pengalamannya nganu semua sik? :’(
Satu sisi
juga, aku bersyukur atas banyak hal, tentang apa yang didapat saat ini mungkin
adalah implikasi dari masa lalu. Dulu, aku hanya berpikir kalau seandainya dengan
aku menerima tawaran itu, maka saat ini mungkin aku sudah ada di panggung
besar. Coba kalau pengandaiannya dibalik; bagaimana kalau ternyata nggak
begitu? atau tentang hal-hal printilan lainnya kayak; kalau beneran jadi anak
teater, maka masa-masa SMP akan ngerasain bolak-balik Jakarta-Bekasi demi
latihan rutin. Ngerasain traffic sampai larut malam lalu besoknya harus
kejar tayang PR sekolah. Belum lagi kasus-kasus anak cewek abege dan
pergaulannya yang hmm banget. Aku nggak yakin, di saat itu aku bisa strong
apa nggak. Lagi pula juga, kalau bukan karena dulu, sekarang belum tentu
aku bisa mandiri, yang dipercaya ke mana-mana—bahkan sampai luar kota—sendiri, mengingat
sebagai anak cewek satu-satunya; belum tentu beneran jadi penulis, belum tentu
punya teman-teman yang baik untuk mengingatkan pada hal-hal yang baik.
Jadi…
begitulah. Maybe I already throw the (I think it’s) gold—and universe want
me to did it too—to discover a beautiful diamond on my own hand for prettifying my
future. Aamiin ;)
-AF
Comments
Btw, aku penasaran, surat-surat yang sejibun itu lantas kamu balasin nggak fi? terus kabar si orang yang ngajakin kamu teater gimana, kamu balasin juga?
Aku sukaaa cerita di postingan ini... membuatku ngebayangin anak2 kecil di film yang imut2 nungguin pak pos datang di depan rumahnya :")
Yang ngajakin teater cuma dibalas bapakku thok. Cuma buat konfirmasi penolakan ajakan karena dia butuh konfirmasi cepat. Aku nggak balas, terlalu patah hatii... bhahaha