Monday, January 21, 2013

SENYUM BUNGA MATAHARI

Suara Bunda terdengar sampai padaku meskipun jarak kami terpisah sekitar lima belas meter. Aku yang di pekarangan rumah sayup-sayup mendengar suara ekspresif Bunda yang sedang menceritakan tentang putri tunggalnya, Yuri. Mungkin beliau sedang kedatangan kerabat yang ingin membeli salah satu koleksi bunganya di toko. Ah tapi, setelah kucoba untuk menjelikan pendengaranku, kenapa di ujung kalimat bunda terdengar seperti melibatkanku di dalamnya?
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki mendekat padaku. Bunda bersama dua orang di belakangnya, seorang anak lelaki dan seorang wanita paruh baya. Anak lelaki tersebut membawa sebuah tas besar yang berisi gitar di dalamnya, mungkin anak ini sebaya dengan Yuri. Sementara si wanita mengenakan pakaian resmi dengan tas tangan di lengan kanannya, siapapun bisa menduga bahwa wanita tersebut adalah ibu dari anak lelaki di sebelahnya.
“Ini adalah salah satu koleksi kami, Yuri suka sekali melukis di sini. Menurutnya, tempat ini banyak memberinya inspirasi.” Ujar Bunda bangga memperlihatkan pekarangannya yang penuh dengan bermacam-macam tumbuhan. “Oh ya Adit, kalau tidak salah ibumu tadi menyebutkan nama sekolahmu sekarang, sepertinya kamu satu sekolah dengan putri Tante.”
Anak lelaki itu mengangguk setelah Bunda mengucap nama sekolahnya. Sekolah yang sama dimana Yuri juga belajar di dalamnya.
“Sudah kenal dengan Yuri?”
Anak lelaki itu menggeleng.
“Baiklah, bagaimana kalau besok kau kesini membawa pesanan ibumu? Nanti akan Tante kenalkan pada Yuri.” Usul Bunda dengan sebelah tangan yang membelai lembut kelopak kuningku. Ya, aku. Si bunga matahari yang ditanam di pekarangan rumah Bunda dan sangat disukai Yuri seperti katanya.
***
Hello Yuri! Kedatanganmu tiba-tiba tanpa sadar membuatku monolog dalam improvisasi imajinasiku seperti biasanya. Kalau kau tanya bagaimana perasaanku saat ini, tentu saja akan kujawab kalau aku senang bertemu lagi denganmu. Kesibukanmu belakangan ini membuat kita jarang bertemu bukan? Padahal tentu saja aku merindukanmu. Kau selalu mengistimewakanku daripada kawananku yang lain. Kalau kau heran dengan anggapanku, tentu saja aku punya alasan dari kesimpulan sikap baikmu padaku. Kau selalu butuh bantuanku, memanfaatkan segala sesuatu yang ada padaku, dan kalau tidak salah kau juga pernah berkata bahwa kalau kau melihatku, maka kau akan menemukan inspirasi untuk lukisanmu. Benar kan? Lalu ada apa denganmu hari ini? Kenapa aku menemukanmu dengan wajah yang tertekuk?
“Menyebalkan, Helen! Menurutmu, kenapa Bunda memaksaku untuk menjaga toko bunganya sementara Bunda malah berpergian dengan temannya? Tidak adil bukan?” keluhmu padaku dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Berbicara di depanku, dan percaya bahwa aku pendengar setia yang baik untuk mendengar semua curahan hatimu meskipun aku tidak merespon sesuatu.
Ah ini masalahnya, aku senang kau masih memanggilku dengan panggilan khususmu padaku. Helen. Nama yang kau ambil dari nama ilmiahku, Helianthus Annuus Linn. Kuharap kau tidak kesal padaku, Yuri. Karena terus terang, aku setuju dengan rencana Bunda. Dan tentu saja, hal ini harus kurahasiakan darimu.
Lalu angin berhembus kencang, membawa sebagian daunku mengikuti arahnya dari tempatku berdiri. Kau tersenyum sambil mengelus pelan sebagian daunku.
“Padahal, aku punya janji pada temanku setelah pelajaran usai. Kami berencana untuk mengunjungi studio musik baru di sekolah. Kau tahu apa yang membuatku tertarik untuk kesana, Helen? Teman-temanku bercerita bahwa ada gitaris baru di sana, ganteng katanya. Sedangkan aku sendiri baru sekali bertemu dengannya, itupun sekilas. Dan sekarang, aku sungguh penasaran…”
Jangan sampai! Keluhku dalam hati. Ah, andai saja kau bisa membaca ekspresiku saat ini, pasti aku akan menggebu-gebu agar kau jangan sampai jatuh cinta pada siapapun. Karena aku berjanji, dalam hitungan menit kau akan bertemu dengannya yang kujamin kau akan menyukainya pada pandangan pertama. Jadi kumohon Yuri, agar kau tetap disini sampai kau bertemu dengan orang itu. Karena sebenarnya, alasanku menyetujui rencana Bunda untuk mengenalkannya padamu adalah caraku untuk membalas budimu padaku.
Kau mendengus keras, “Lalu apa yang harus kulakukan?” keluhmu lagi sambil bangkit dari dudukmu dan mulai uring-uringan. Setelah melirik ke arah jarum jam di dinding, kau kembali berbicara denganku, “Sepertinya latihan band-nya belum selesai, Helen. Aku mau pergi ke sekolah lagi. Sungguh penasaran!”
Jangan, sungguh jangan! Aku mulai meraung tanpa suara dan berharap bisa melakukan sesuatu agar bisa menghentikan langkahmu, Yuri. Kau harus menetap disini, setidaknya sampai dia datang. Kumohon…
Namun kau seakan tidak menghiraukanku. Setelah mengelus sebagian kelopakku, kau mengucapkan selamat tinggal, seperti biasanya saat kau ingin berpergian dari rumah. Aku bingung, ingin rasanya melakukan sesuatu. Dalam hitungan detik dan tanpa kesengajaan, angin kembali berhembus menjatuhkan salah satu kelopak kuningku.
“Aku pergi dulu, Helen. Daaa…” pamitmu. Lalu kau melangkahkan kakimu ke pagar rumah dan menguncinya sebelum keluar. Yuri, kau bahkan tidak peduli bahwa kelopakku akan berguguran satu persatu seiring dengan berjalannya waktu.
Kemudian emosiku membuncah. Ingin rasanya kuteriakkan namamu, mengejarmu, dan memanggil namamu. Bukan hanya sekadar bermetafora dalam imajinasiku seperti saat ini. Karena sekitar lima belas menit setelah kepergianmu, dia datang, dan seharusnya kalian bertemu.
***
“Malam Helen. Aku punya dua kabar, satu kabar baik dan satu kabar buruk. Menurutmu, bagian mana yang harus kumulai?” sapamu mengawali pembicaraan padaku malam harinya. Ah, ingin sekali aku mengacuhkanmu sekali ini saja, Yuri. Andai ekspresi kecewaku bisa terlihat jelas olehmu.
“Baiklah, kalau begitu aku memulai dengan kabar buruk.” Ucapmu sambil menangkupkan tangan dan memasang wajah yang terlihat sedang mengenang sesuatu. “Hari ini aku sudah berkorban banyak untuk melihat cowok itu, Helen. Datang ke studio musik sekolah dan menerobos teriknya matahari hanya untuk bertemu dengannya. Tetapi yang terjadi disana justru sebaliknya. Si gitaris itu tidak latihan, katanya sementara diganti dengan gitaris cewek dari kelasku. Menyebalkan!”
            Aku tersenyum menang. Akhirnya, akhirnya, akhirnya. Akhirnya kau tidak menemukan si gitaris yang kaukagumkan itu, Yuri. Setidaknya aku bisa mencatat dalam hati bahwa ada peluang untukmu mengagumi anak yang bernama Adit itu. Jadi, lenyapkan segera wajah murungmu dan bersiap-siaplah memasang wajah cerah, secerah matahari. Dengan begitu, aku bisa membalas budi padamu.
“Dan kau mau tahu apa kabar baiknya?” tanyamu lagi. Kali ini wajahmu terlihat cerah. Kumohon, jangan bilang kau….
“Aku tadi bertemu dengan seseorang ketika sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Orang itu memiliki kesan khusus, aku mengaguminya.”
Ternyata, dugaanku tidak meleset. Saat ini rasanya aku ingin layu, jatuh ke tanah dalam waktu singkat begitu mendengar kau menuturkan hal seperti itu.
“Dia cowok yang beralis tebal, memiliki lesung pipi yang dalam ketika tersenyum, dan berkulit putih.”
Ciri-cirinya, sama seperti….
“Tadi dia memakai celana jeans selutut, memakai kaus berkerah berwarna merah dengan sepatu kets putihnya. Di punggungnya ada tas besar berwarna hitam yang aku tidak tahu apa isinya.”
Seperti Adit, Yuri. Apakah kalian bertemu? Lalu bagaimana….
“Dia duduk di halte menghadap matahari. Mengingatkanku padamu yang selalu menghadapkan wajahmu kemanapun matahari bersinar. Aku penasaran dan lalu mendekatinya, tapi dia justru pergi. Sekilas aku melihat ke arah gantungan kunci yang tergantung di tas besarnya. Sebuah gantungan kunci dengan ikon band sekolah kami, dibaliknya ada tulisan huruf A yang besar. Menurutmu, apa itu berarti inisial namanya? Apakah kami sebenarnya berasal dari sekolah yang sama?”
Kali ini aku terdiam, menyadari sesuatu dan tersenyum. Lucu sekali kalian! Saling mencari dan seharusnya saling bertemu. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak di depanmu sambil menceritakan kronologi sebenarnya, Yuri. Tapi, saat ini aku merasa hanya perlu menikmati diriku sendiri dengan terus bermetafora dan menjadi pendengar setiamu juga sumber inspirasimu. Aku, bunga mataharimu yang selalu terlihat tersenyum cerah ketika berada di dekatmu. [AF]

BEHIND THE SCENE MY SHORT STORY -Senyum Bunga Matahari-

Aku mau cerita tentang cerpen pertamaku yang nembus media. It's relieve.... benar-benar mengharukan karena aku sempet kena writter block yang nggak kena hitungan jari sebelumnya.
Berawal dari aku yang suka beli majalah KaWanku dan mempelajari cerpen-cerpen standar di sana. Trus salah satu alurnya aku tulis berdasarkan inspirasiku yang kuambil setelah nonton film Korea, hehehe. Dikombinasi dari tokoh-tokohnya; Yuri (artis favoritku, anggota GirlBand SNSD) juga Adit, (Namanya aku ambil dari tokoh film Eiffel I'm In Love tapi fisiknya aku miripin sama Siwon SJ) hahaha.
Awalnya aku sempet pesimis buat gak diterima. Tapi pas tiba-tiba dapet e-mail kalo cerpenku diterima, langsung kalap deh, ga sabar nunggu hari H karena diumuminnya pas 5 hari sebelum majalahnya terbit. 
"Hai,
Cerpen kamu yang berjudul Senyum Bunga Matahari akan dimuat di majalah kaWanku edisi 142 yang akan terbit tanggal 9-23 Januari 2013.
Honor akan ditransfer maksimal 1 bulan setelah majalah terbit.
Makasih"
-redaksi KaWanku

Friday, January 4, 2013

My First Post on January, 2013

Tulisan perdana nih di 2013...
Sebenarnya juga, nggak tahu apa yang mau ditulis disini karena nggak ada ide sama sekali. Mau curhat tapi gak tahu apa yang mau dicurhatin, mau ngedumel tapi takut kebanyakan dan nggak abis-abis, mungkin seru aja kali ya kalo aku cerita sesuatu yang bisa memotivasi diri sendiri.
Terinspirasi dari film 5cm yang keluar pada saat tanggal 12-12-12 silam. Film ini recomended banget, terutama buat pemuda-pemudi Indonesia yang lagi masa-masanya krisis nasionalisme (don't worry, i'm included! :p). Cerita tentang persahabatan, cinta, motivasi belajar, dan intinya membuat kita bersyukur dengan kekayaan alam milik Indonesia yang kurang terekspos dibanding kita yang suka mengekspos fitur-fitur milik negara asing. Persahabatan yang tiba-tiba jenuh dan bersepakat untuk tidak saling bertemu dalam waktu tiga bulan. Setelah tiga bulan tersebut, Genta (salah satu dr mereka), mengomando untuk melakukan perjalanan jauh ke Gunung Mahameru, Malang.
Perjalanan ke Mahameru yang panjang menemukan banyak pemandangan bagus yang bisa dilihat hanya dengan kasat mata. Ranukumbolo, kali mati, arcopodo, dan masih banyak view yang mungkin film ini nggak menggambarkan semuanya, kita harus menemukan selera view kita sendiri di sana.
Yang aku suka dari film ini; cara mengadaptasinya dari novel itu bisa dibilang almost perfect. Kerja keras para aktor yang sudah dikonsekuensikan untuk benar-benar naik ke gunung Mahameru tanpa manipulasi kamera buatan itu membuahkan hasil. Karena aku sendiri jadi merasa pengen banget kesana saat menonton di film dibanding membaca di novel. Ya mungkin karena imajinasiku masih belepotan buat nangkep vacation-nya. Dan pastinya aku sendiri bangga karena Mahameru dan sekitarnya itu memiliki pemandangan yang benar-benar luar biasa, padahal aku hanya menonton lewat layar kaca, dan belum melihatnya langsung dengan mata telanjang.
Untuk para aktor; meskipun aku juga merasa janggal dengan karakternya yang tidak disamapersiskan dengan peran di novel, tapi aku merasa cukup terhibur karena mereka melakukannya dengan baik. Terutama saat adegan ceplas-ceplos yang sama sekali tidak terlihat kalau itu dari dialog script, tapi memang pembawaan dari karakter masing-masing aktor.
Sebenarnya, ada behind the scene buatku sendiri saat mau menonton film ini. Perjalanan jauh dari kampus ke bioskop yang kami bela-belain karena bioskop terdekat kami harganya di atas rata-rata. Jadi, aku dan teman-temanku melakukan tantangan sendiri melewati jakarta dengan metromini yang sebenarnya udah nggak layak pakai lagi karena suaranya yang berisik juga kondisinya yang sepertinya nggak pernah stabil. Ternyata di tengah jalan, supir metromini bilang bahwa kita harus menaiki mobil lagi. Benar-benar-pengorbanan! Berasa bukan ngebela-belain nonton film, tapi nonton konser! Aku bete banget sebenarnya, tapi berhubung teman-temanku juga bete jadi sebisa mungkin untung bersikap slow. Ternyata, sampai sana juga, studio yang kita pilih sudah dibooking sekitar 80% terisi. Daripada ngambil resiko buat nonton di bawah yang ngedangak sepanjang film diputar, lebih baik memilih bangku kedua dan ketiga dari atas secara terpisah! ya, terpisah! Aku sendiri dan dua temanku duduk di atasku. Tragis kan? huhuhu. But over all, aku senang karena perjuanganku untuk nonton film ini nggak sia-sia juga setelah merasa terhibur sepanjang waktu menonton.
Lalu apa yang membuatku termotivasi? Menjadikan tangan yang lebih banyak mengetik dari biasanya (terutama pada saat liburan) untuk terus menulis dan terus berdoa agar tulisan kita bisa membawa kita kepada hal-hal terbaik untuk dijadikan pengalaman hidup kita. SEMANGAT!

Tuesday, January 1, 2013

Cinta tapi Beda [?]

CAST: Agni Pratistha, Reza Nangin
SUTRADARA: Hanung Bramantyo

Sinopsis
Cerita tentang dua orang yang berlainan keyakinan tapi saling mencintai. Cahyo seorang chef dari Jogja dan Diana seorang penari dari Padang. Pertemuan singkat membawa mereka untuk memutuskan untuk berpacaran sampai saling berkeputusan untuk serius mencapai jenjang pernikahan.
Orang tua mereka masing-masing tidak setuju karena mereka dari basic agama yang sama-sama taat. Cahyo yang diputuskan untuk dijodohkan dengan perempuan sholehah di kampungnya dan Diana yang juga dijodohkan dengan pemuda salah satu jemaat gerejanya sama-sama menuai kegagalan dalam melangsungkan hubungan mereka. Sampai akhirnya, seakan-akan waktu merestui pertemuan mereka setelah mengalami perseteruan panjang.

Tanggapan dan Ulasan
Banyak alasan kenapa aku nggak begitu merekomendasikan film ini. Selain menuai kontroversi, setting dan acting para pemainnya banyak menemukan kejanggalan. Banyak pertanyaan, terutama kenapa harus mengambil jalur happy ending? Khawatir banyak orang mengira nantinya bahwa perkawinan beda agama akan diperbolehkan dalam hukum beragama ataupun hukum negara. Sosok Cahyo yang dideskripsikan taat beribadah malah jatuh cinta dengan Diana, seorang penari yang tariannya terlihat sensual. Kalau dilihat lebih jeli, siapapun bisa mengira bahwa mereka bisa jatuh cinta tanpa mengenal ketulusan, tapi hawa nafsu. Cahyo yang taat tiba-tiba menjadikan rokok sebagai pelampiasan ketika ditimpa masalah.
Aku lebih suka kalau film ini sad ending atau bagaimanapun caranya bahwa mereka bisa dipisahkan sebenarnya. Lebih baik lagi kalau sad ending karena orang tua mereka yang keukeuh untuk tidak merestui namun mereka memaksakan diri untuk bertemu sehingga menyebabkan mereka celaka. Step by step adegan ini terlalu mudah ditebak. Jadi, bagiku sendiri film ini lumayan membosankan. Solusi dari konfliknya nggak dapet, adegannya predictable, actingnya pas-pasan, dan pesannya secara tersirat maupun tersurat kurang bisa ditangkap maksudnya.
Untuk tentang percintaan beda agama, aku prefer sama film Ayat Ayat Cinta. Yang mana si laki-laki muslim taat bertemu perempuan kristen koptik tapi si perempuan hanya menyukainya secara sepihak. Pernikahan mereka juga karena hasil desakan untuk keselamatan. Banyak cerita dan konflik disana yang bisa diambil hikmahnya. Rangkaian ceritanya yang apik juga mengobrak-abrik emosi.