Monday, February 13, 2017

DAY 30: HIGHS AND LOWS FOR THE MONTH



Tantangan ini aslinya untuk tiga puluh hari, tapi aku malah kasih bonus dua minggu. Ke mana aja dua minggunya? Nginep di Ciputat—kalau ke Ciputat jarang bawa laptop, nonton drama—sekarang lagi nonton Goblin dan udah episode 6, benerin laptop, mager’s day, de-el-el, de-ka-ka. Begitu udah masuk hari penghujung di tiga puluh hari ini, apa rasanya? WE ARE THE CHAMPION, MY FRIEEEND!! *boleh loh kalau mau nyanyi bareng-bareng*
Tahun lalu, ngerilis label baru di sini; #DramArt. Tahun ini ngerilis label Challege dan termasuk label yang paling banyak posting-annya. Tahun lalu, cuma ada empat post. Tahun ini, ada tiga puluh dan belum sampai dua bulan. Perkembangannya drastis! Terima kasih buat Tansis yang ngajakin challenge ini. Dari Tansis, kemudian ketemu blog TanGi, lalu main-main ke sana, baca posting-annya, ninggalin komen di sana. Dari blog TanGi ketemu Heru yang—ternyata di saat yang sama lagi komen juga, cuma beda beberapa detik—lalu jadi main ke blog Heru yang (ternyata) juga ikutan challenge. Formasi berempat ini yang kemudian sampai ke garis finish, dan aku yang paling telat.
Rasanya seru! Udah kayak rutinitas buka blogger lalu lihat tools Awaiting For Moderation di pilihan Comments, buat nge-approve dan publish komen-komen yang masuk. Lalu rutinitas melancong ke blog teman-teman; di 30 days-nya Tansis, aku paling suka posting-an yang Three Lesson You Want Your Children Learn From You (aku ngebayangin betapa menyenangkannya anak Tansis nanti punya ibu yang curhat-able *hidup emak-emak pisces* B-) ) sama 30 Fact About Yourself (karena faktanya lucu semi kece gitu). Di TanGi, aku paling suka A Quote You Try To Live By (paling jatuh cinta sama kalimat: Berbuat baik untuk membuat bumi menjadi tempat yang lebih ramah bagi penghuninya dan tidak perlu menghabiskan waktu dan energi kita untuk membentuk citra diri yang baik di mata orang lain. Toh manusia bukanlah penilai yang baik. Nantinya kita akan memahami kalau penghargaan akan kebaikan yang telah kita lakukan, tidak akan datang dari apa yang orang lain pikirkan tapi dari dalam diri kita sendiri.) dan Things That Make You LOL (karena fokusku ke Zahir =)). Di Heru, aku suka sama posting-annya yang Bullet Point Your Whole Day (karena ngebayangin betapa serunya Heru kerja yang dikelilingi anak kecil) sama Thing of any word. Search it on Google images. Write something inspired by the 11th image (karena balsam! Iya, balsam cobaaaa!! Tulisannya made my day bangeeet! :D )
Sementara aku, pas nulis ini up and down-nya banyak banget. Sempat no idea pas lagi nulis day 23 yang surat itu, something that kicking ass-nya juga, tapi giliran niat cerita, postingan bisa jadi panjang banget. Oh, hidup~
Sekarang udah selesai! Lalu apa plan selanjutnya untuk blog ini? Nggak ada. Hahaha! Jujur banget. Mungkin nanti nge-post #DramArt mengingat label itu paling sedikit post-nya . Mungkin juga riviu film. Kalau buku… semenjak punya Goodreads, jadi malas aja masa gitu riviu ulang di sini. :D
Thank you for reading!

-AF

Saturday, February 11, 2017

DAY 29: MY GOALS FOR THE NEXT THIRTY DAYS



Tiga puluh hari dari hari ini tandanya akan terjadi sampai 11 Maret 2017, dan untuk berbicara soal goals, mungkin aku lebih prefer kalau yang diomongin adalah plans atau dreams. Abis gimana, ya, aku mungkin kadang lebih suka membayangi proses, menentukan step by step-nya, dibanding keukeuh sama goals-nya. Bukan berarti goals-nya nggak ada. Tetap ada. Tapi nggak terlalu menaruh ekspektasi berlebih sehingga menekan diri mati-matian buat mencapai titik tersebut tanpa menikmati proses. Begitu nggak kesampaian sesuai ekspektasi, kecewa, lalu ngerasa down banget lantaran nggak begitu menikmati proses, nggak dapat hasil yang memuaskan. *pernah ngerasain soalnya, dulu. Dan setelah itu agak mengendurkan prinsip untuk jadi lebih fleksibel.* yang mudah-mudahan, ini lebih worth it.
Pertama-tama, plans yang paling pasti adalah seminggu ke depan: wisuda, di tanggal 18 Februari. Rasanya, ah… akhirnya! Di masa-masa skripsi, membayangkan pakai toga rasanya sesuatu yang kayaknya jauuuuh banget, soalnya tiap kali ngeliat draft skripsi, entah berapa kali kepikiran buat menyerah. Jatuh-bangun dunia skripsi ini termasuk yang membuat aku berpikir dengan pola prinsip di paragraf pertama tadi. Goals-nya cuma bisa sidang dan lulus, cukup. Nggak kepikiran nilai skripsi harus berapa, efek dari skripsi jadi apa, hhh boro-boro itu mah. Begitu nilai skripsi udah keluar, rasanya kayak dapat bonus yang patut disyukuri banget, apalagi wisudanya bareng banyak teman yang solid-solid. Alhamdulillah ya… sesuatu.
Ngomong-ngomong, wisuda nanti aku memutuskan buat nggak pakai kebaya. Entahlah, mungkin karena rasanya belum bisa akrab dengan sesuatu yang bernama songket. Kemarin pas kondangan, udah nyoba sih. Tapi belum pede aja gitu kalau nanti dipakai pas wisuda juga. Nanti aja kali, ya, pas lamaran. *uhuk*
Plans kedua, sejak awal Februari kemarin, aku resmi jadi volunteer di komunitas Serambi Inspirasi dan jam mainnya di tiap hari Sabtu pagi, di SD Dinamika Bantar Gebang Bekasi, sampai siang. Sabtu lalu, aku udah ke sana buat pertama kalinya dan langsung terkesan karena menyenangkan! Kalau di KI, aku ngerasa paling bungsu karena mainnya sama senior-senior, kalau di SI, rata-rata seumuran. Atau paling nggak beda 1-3 tahun di atas atau di bawah. Hari ini harusnya aku ke sana, tapi karena satu dan lain hal, terus juga sepanjang pagi ini Bekasi hujan deras terus, nggak bisa datang. Terus sekarang malah envy begitu ngelihat share-an foto-foto kegiatan hari ini.
Menyenangkannya karena… mungkin aku termasuk orang yang punya bakat main-main, ketawa-ketiwi, dibanding ngajar. Entahlah, padahal mungkin nggak ada bedanya karena toh yang disampaikan mata pelajaran juga. Tapi kalau guru mungkin lebih sesuai silabus, sementara kalau jadi volunteer, diaplikasikan ke hal-hal yang lebih playful, interesting, sambil nyanyi-nyanyi, ice breaking, terus volunteer satu kelas bisa enam orang lebih. Jadi beneran kerasa mainnya.
Fyi, yang namanya di Bantar Gebang itu literally di yayasan yang dekaaaaat banget sama pembuangan sampah. Nah, yang namanya pembuangan sampah itu bukan cuma kayak ladang terus ada sampah. Tapi udah jadi gunungan luas. Ibarat kalau kita nyewa penginapan di puncak lalu begitu buka jendela yang kelihatan gunung-gunung hijau, kalau di yayasan itu ya kelihatan gunung juga. Tapi gunung itu khusus sampah. Dan itu luas serta tingginya kayak gunung di puncak mungkin ya.
Plans ketiga adalah nge-draft lagi. Di zaman skripsi, udah gatel banget mau nge-draft, di samping waktu itu juga kayak lagi dapat inspirasi dari seseorang buat menceritakan hidupnya. Agak deg-degan sih ini, karena berkaitan dengan cerita orang lain, bukan kisah sendiri. Tapi mungkin anggap aja sebagai sesuatu yang menantang kali ya….
Plans keempat, mungkin yang ini lebih disebut sebagai dreams. Jadi, setelah kuliah ini pasti banyak banget pertanyaan mau-lanjut-di-mana sementara aku banyak banget maunya. Lanjut kuliah, ayok—padahal pas zaman skripsi, kalau disodorin ini rasanya empet banget. Karena ngebayanginnya ketemu kampus lagi, kampus lagi. Yang satu belum kelar, malah disuruh lanjut—terjun berprofesi juga, ayok. Tapi yang paling dominan di kepala sih kepenginnya aku udah berprofesi di suatu tempat nanti dengan profesi yang aku suka. Sebulan dari sekarang juga mungkin termasuk cepat kali ya, tapi nggak ada salahnya berdoa banyak-banyak.
Untuk sebulan ini, kemungkinan itu dulu yang tebersit. Padahal kalau diperpanjang sampai April, plan lanjutannya adalah; datang ke kondangan. Alamat tiap weekend kayaknya undangan pernikahan numpuk di situ semua dari sahabat-sahabat terdekat—yang bakal ngerasa jahat banget kalau sampai nggak datang. Jadi… dari sekarang mulai kepikiran dateng-pakai-baju-apa-ke-kondangan-kalau-nggak-dikasih-seragam. Girl’s problem number one banget rasanya! -_-
-AF

Friday, February 10, 2017

DAY 28: ABOUT AREA IN MY LIFE THAT I'D LIKE TO IMPROVE



Kalau teringat sesuatu yang pengen banget di-improve, sebenarnya ada banyak. Pertama-tama yang tebersit adalah waktu, sama kayak Tansis. Soal manajemen waktuku bener-bener harus banyak perbaikan. Bahkan dalam urusan waktu luang di saat liburan aja suka kebentur di pilihan; nulis dulu, nonton drama dulu, atau baca novel dulu. Begitu pusing banyak maunya, misalkan udah memutuskan buat nulis, di tengah jalan malah tidur. Dan waktu tidurnya lebih panjang daripada nulisnya. Oh, hidup~
Ngomong-ngomong, tiga hobi di atas udah kayak siklus mood-ku. Ibarat negara yang punya empat musim, tiga hobi di atas juga punya siklusnya. Kalau lagi mood nulis, aku nuliiis terus. Sebulan bisa kontinu nulis tanpa baca novel, tanpa nonton drama. Begitu juga kalau lagi mood baca atau lagi mood nonton. Jarang bisa ngebarengi. Atau kalaupun bisa, ya nggak maksimal salah satunya. Mungkin ini adalah pertanda bahwa aku nggak bakat jadi peselingkuh… #heh
Pernah suatu hari pas KKN, temanku, si Ijun—yang udah disebut-sebut di postingan sebelumnya—dia konon bisa ‘baca’ fate kita dari garis tangan di sebelah kiri sama dari kartu remi. Tentang manajemen waktu, keuangan, percintaan, sama apa lagi gitu. Pas waktu aku, kata si Ijun, keuanganku tergolong yang nggak bermasalah (padahal mah nggak juga, kalau lagi khilaf, besoknya bisa puasa :’) ), percintaanku… nggak usah disebutkan lah ya, manajemen waktuku… beuh, katanya masih berantakan. Ini iya banget, sih. :’)
Terus juga, yang mau di-improve lagi soal kesehatan. Kangen euy masa-masanya rutin olah raga, zaman-zaman diet di waktu kuliah. Waktu itu aku bisa menyisakan waktu minimal 30 menit buat aerobik, nyaris setiap hari karena shock ngelihat angka di timbangan masuk kepala enam. Waktu itu emang kacau parah, sih. Gara-garanya udah semester tujuh, bukan tinggal fokus ke skripsi tapi juga masih urus seabrek makalah yang deadline-nya ngajak ribut. Semakin pusing, semakin pengin ngunyah. Sampe overload, dan ngerasa berat banget sampai kadang kehilangan keseimbangan badan. Abis itu dirujuk teman sekamar—yang kebetulan anak sains semua—buat melakukan aerobik. Made in Youtube. Awalnya pakai aerobik dance yang kedua aerobik workout yang gerakannya lebih ekstrem—tapi yang kedua ini bisa nurunin bb, seminggu 3 kilo.
Semula punya target untuk mencapai angka sekian selama aerobik, lama-lama karena terbiasa, jadi kebiasaan. Lupa sama angka, jadi kayak kebutuhan gitu. Badan terasa lebih ringan, punya waktu istirahat yang benar-benar ke-set, nggak gampang lelah, nggak gampang sakit—even itu cuma flu—kecuali sakit kaki dan para otot di awal-awal, kayak punya kebutuhan buat ‘nyari keringat’ lalu endingnya terlentang lega sendiri tiap ritual 30 menit itu. Oh ya, pernah suatu hari aku lama nggak aerobik, terus kena flu yang bikin hidung gatal tapi nggak bisa bersin, abis itu aerobik, dan jeng jeng… bersin sampai entah berapa belas kali.
Sekarang lagi mager-magernya, lupa udah kapan terakhir kali aerobik. Mungkin waktu dekat harus aerobik lagi nih, efek kelar skripsi, nafsu makan dan lemak-lemak berlebih makin balik lagi. :’)
Jadi keinget soal ramalan Taurus yang bilang kalau para Taurus care cenderung insecure sama bentuk tubuh. :’) akunya ngangguk aja deh.
Sama… em, apa lagi ya yang mau di-improve? Kualitas ibadah, iya banget. Banyak banget yang harus diperbaiki soal ini mah. Hubungan sama Allah, hubungan sama manusia. Berusaha untuk lebih baik buat diri sendiri dan orang lain (yang baik-baik). Aamiin.
Ngomong-ngomong, tulisan ini dibuat pas aku lagi sebel sama ponselku karena dari tadi di-charge nggak mau masuk-masuk. Gejalanya udah lama sih, cuma baru trouble ngambeknya sekarang, padahal besok mau dipakai buat hal penting. Rasanya nih hape kusuruh improve dirinya, biar nggak cupu-cupu amat deh.
Sekian, dan butuh hape (plus laptop) baru. :’(
-AF

DAY 27: LESSON I'VE LEARNED THE HARD WAY




Masih empat hari lagi, kalau tulisan ini kelar, sisanya tinggal tiga hari lagi… sementara duo Capricorn—si TanGi dan Heru—udah selesai menyusul Tansis. Ini kapan aku closure-nyaaa? #heh!
Sebenarnya ini ditulis dalam keadaan kepala masih rada berat, padahal udah dibawa tidur. Mau main ponsel, tapi kondisinya lagi drop dan lagi di-charge total. Jadilah melarikan diri ke sini buat nulis. Kali aja jadi semakin rileks….
Ngomong-ngomong soal lesson you’ve learn the hard way, pas banget berpapasan sama satu masalah besar yang baru aja aku sadari kemarin ini; KTP-ku udah kedaluwarsa sejak 2016 kemarin, padahal Pilkada sebentar lagi! Kaget? Nggak, sih. Sebenarnya cuma ngebayangin bagaimana rempongnya buat urusin lagi. Belum lagi kalau-kalau harus dikomenin kenapa baru sekarang sadarnya. Ya abis gimana, kebutuhan KTP suka nggak urgent-urgent amat. Kalaupun KTP-ku masih aktif, tetap aja nggak terdaftar karena masih dalam bentuk laminating, bukan e-KTP. Jadi boro-boro juga terdaftar seumur hidup.
Buat yang masih bingung kenapa KTP-ku masih berlaminating, jadi begini cerita (drama)-nya…
Jadi awalnya, kayak yang lain-lain pas lagi berbondong-bondong urusin e-KTP, aku juga ikut. Dan saat itu juga, aku punya. Itu hanya bertahan beberapa lama… sampai negara api menyerang. Ini yang namanya ‘negara api’, beneran api. Bahasa eksplisitnya, dompetku terbakar.
Cadas, kan? =))
Peristiwa dompet terbakar ini pasti menimbulkan pertanyaan. Jangankan buat yang baca tulisan ini, buat aku yang—sebenarnya udah terjadi beberapa tahun lalu—masih aja kepo kenapa bisa. Misterius juga kejadiannya, men!
Ini terjadinya pas aku lagi KKN. Jadi ceritanya, sehari sebelum ada program seminar buat ibu-ibu, aku dan seorang temanku bertugas melengkapi alat dan bahan ke beberapa toko. Saat itu dompet masih kupegang, aku masih jajan sambil beli-beli bahan. Begitu selesai dan aku kembali sama temanku ke penginapan cewek-cewek dulu, aku juga masih pegang. Setelah itu nggak begitu ingat karena malamnya kami harus pengajian di salah satu rumah tetua desa, yang dilanjutkan menyiapkan beberapa bahan dan alat seminar buat besok.
Antara malam itu juga atau besoknya, aku mulai sadar karena mau beli sesuatu tapi dompet nggak ketemu di mana-mana. Obrak-abrik barang sana-sini, cari sampai pelosok rumah penginapan barangkali keselip, nggak ketemu. Nggak mungkin juga nyasar ke tempat cowok karena aku sama sekali nggak ke penginapan cowok dalam waktu-waktu dekat. Berbagai persepsi muncul sampai akhirnya harus menekan persepsi slash asumsi itu selama hari seminar karena pikiran jadi bercabang. Jadi aku memilih memfokuskan acara itu dulu, di samping teman-teman juga fokusnya ke sana dan bersedia mem-back up kalau aku butuh sesuatu terkait uang.
Setelah selesai seminar, barang-barang otomatis berantakan dan semua bersarang di penginapan cewek, semakin susah dicari. Sampai sekitar dua hari sejak aku sadar bahwa dompet itu nggak ada di mana-mana, belum juga kelihatan tandanya. Salah seorang temanku—yang kita sebut saja si Ijun—di KKN menawarkan diri untuk bertanya temannya yang konon bisa ‘melihat’ buat dikasih petunjuk, mungkin karena udah lama juga ngebingungin teman sekelompok soal ini. Dari temannya si Ijun itu, dapat clue-nya, “Dompet itu ada di tempat hijau. Rada gelap. Kalau bisa, dicarinya besok pagi sebelum siang. Kalau nggak, bisa nggak selamat.” Dan dia mengucapkan begitu saat malam-malam. Kebayang, saat itu juga aku nggak bisa tidur.
Besok pagi, ditemani oleh salah seorang teman yang lain, si Nenek, langsung melakukan penjelajahan ke berbagai tempat yang kami kerucutkan ke rumput-rumput dekat rumah. Asumsi kami dari clue temannya Ijun itu; ada di rumput-rumput tempat berkumpulnya sampah dan yang dimaksud lenyap itu kalau sampah-sampah itu harus dibuang ke tempat yang lebih jauh lagi, atau harus dibakar. Jadi semakin pagi semakin baik. Dan di pagi itu juga, rasanya udah kayak pemulung bermuka bantal yang korek-korek sampah… tapi nggak ada hasil.
Sempat putus asa, mungkin karena terlalu percaya sama orang yang konon punya ‘kelebihan’ dan sempat ragu kalau mempercayainya itu hal yang benar apa nggak. Tapi ya namanya juga ikhtiar….
Sekitar jam sembilan menjelang siang, dua teman cowok datang ke penginapan cewek (karena penginapan cewek kerap lebih dijadikan basecamp rapat atau sekadar makan menjelang brunch sampai malam), dan dua-duanya memasang wajah yang sulit didefinisikan; antara getir tapi memaksa senyum, tapi kayak ada yang mau disampaikan, dan semua ke arahku. Kata salah satu di antaranya, “Jangan kaget, ya….” Lalu memberi satu bungkus plastik hitam yang isinya sisa-sisa fisik dompetku yang gosong, koin-koin yang terpaksa berubah warna, nggak ada kartu-kartu, nggak ada uang kertas yang tersisa. Saat menerima itu rasanya sekujur tubuh gemetaran—terutama lutut—dan langsung menghampiri salah satu teman cewek terdekat, buat nangis, tapi sambil ngomel-ngomel karena masih unbelievable. Cowok-cowok yang tadi memberi tahu terlihat mukanya serba salah, nggak enakan, mewajarkan kalau aku menangis, sambil menceritakan kronologinya versi mereka. Ternyata ada di tumpukan sampah dekat penginapan mereka. Tentang bagaimana caranya atau kenapa bisa sampai ke sana padahal aku lagi nggak berkunjung ke tempat cowok, itu juga wallahu a’lam. Tapi satu sisi aku juga lega karena fisiknya ketahuan jadi aku nggak penasaran ada di mananya. Yang—terpaksa harus—lenyap saat itu; uang tunai yang jumlahnya cukup lumayan buat makan dan jajan sehari—tapi untungnya nggak banyak, foto, para kartu ATM-KTP-KTM-kartu rumah sakit sama kartu apa lagiii gitu. ATM udah aku blokir dan pengurusannya harus ke Ciputat (karena selain banknya di Ciputat, kantor polisi buat mengurus surat kehilangannya juga bersebelahan beberapa ratus meter)  sementara KTP harus diurus di Bekasi.
Buat jadi pembelajaran, mengurus hal-hal yang berkaitan dengan surat-surat negara itu memakan waktunya ampun-ampunan ya! =)) nggak KTP, nggak surat kehilangan, nggak ATM. Waktu aku bikin KTP itu, kebetulan aku juga lagi butuh buat beli tiket kereta. Saat itu e-KTP masih simpang siur keberlanjutannya, jadi warga yang mau bikin KTP lagi dikembalikan ke bentuk laminating. Waktu itu kalau nggak salah butuh tiga hari sampai aku pegang KTP-nya. Selang beberapa waktu, barulah dicetuskan e-KTP seumur hidup.
Rasanya bĂȘte. Tapi ya gimana ya… e-KTP sama KTP biasa cuma beda di fisik sih, jadi nggak bĂȘte-bete amat. Coba e-KTP bisa juga digunain buat memanfaatkan fasilitas negara lebih mudah. Kayak misalnya; baca buku sepuasnya di PNRI, gratis main di MONAS bagian atas sebelum emasnya, punya rumah di TMII, belanja sepuasnya tanpa bikin melarat di GI, PI, MOI… #heh
Selesai! Sampai jumpa di tiga postingan terakhirnya….
-AF